Selasa, 22 Februari 2011

Prosedur Produksi Biogas Skala Laboratorium

  1. Gb.4. Isolasi sambungan
    Potong pipa tembaga kira-kira 20 cm, haluskan ujungnya dengan amplas.
  2. Sambungkan pipa tembaga dengan plastik atau balon Meylar seperti Gambar 3 (di artikel sebelumnya).
  3. Pastikan tidak ada kebocoran sehingga udara luar tidak bisa masuk. Isolasi ujung sambungan untuk menjamin kekedapan seperti di tunjukkan pada Gambar 4.
  4. Bor penutup botol kira-kira dengan ukuran diameter 4mm pada bagian tengah. Tambahkan beberapa tetes lem kayu sekitar lubang kemudian masukkan pipa T ke melalui lubang yang dibuat seperti pada Gambar 5.
  5. Sambungkan konektor bergerigi pada kedua ujung keran sehingga mudah disambungkan dengan selang vinil seperti pada Gambar 6.
  6. Potong 3 selang masing-masing sepanjang 25 cm dan sambungkan antara konektor T dengan keran, antara keran dengan pembakar bunsen, dan terakhir antara konektor T dengan pipa tembaga sehingga sistem digester akan terlihat seperti Gambar 1 (di artikel sebelumnya).

Mempersiapkan Umpan:
  1. Gb.5. Mengelem tutup botol kayu
    Buka penutup botol dan Siapkan corong untuk memasukkan larutan campuran kotoran ternak-air
  2. Siapkan larutan umpan dengan rasio kotoran-air = 1:1, secukupnya (+ 16 liter volume total), aduk sampai merata/homogen.
  3. Tutup rapat digester dengan penutup kayu.
  4. Pastikan kerannya dalam keadaan tertutup sehingga biogas yang dihasilkan tidak keluar dan biogas sepenuhnya mengalir ke ballon/penampung gas.
  5. Letakkan digester di tempat yang hangat (30-40 °C) untuk mempercepat produksi gas. Di biarkan di temperatur biasa juga tidak masalah.

Pengujian Gas:
  1. Gb.6. Pemasangan Konnektor gerigi
    Untuk semingggu pertama, biogas yang terproduksi kebanyakan CO2. Kadang-kadang perlu hampir sebulan untuk menghasilkan biogas dengan kadar metan 60-70%. Setelah itu umumnya komposisi biogasnya stabil pada rentang itu.
  2. Uji biogas dengan menggunakan pembakar bunsen ketika balon terlihat mengembung dengan cara membuka keran dan memencet penampung gas agar bisa keluar melalui pembakar bunsen, lalu nyalakan dengan korek.
  3. Jika gas sulit terbakar berarti kandungan CO2-nya masih tinggi. Jika terjadi demikian buang seluruh gas yang ada di penampung lalu tutup keran kembali. Biogas dengan kadar metan lebih tinggi akan diproduksi.
  4. Lakukan pengujian berulang-ulang sampai mendapatkan biogas dengan kadar metan tinggi yang diindikasikan dengan nyala api yang baik (nyala api berwarna biru seperti nyala kompor gas).

Demikian tutorial singkat ini, selamat mencoba. Penulis siap berdikusi melalui kolom komentar jika ada pertanyaan.

Sabtu, 12 Februari 2011

Agroindustri Pengolahan Produk Kacang Mete di Kabupaten Wonogiri

Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale Linn) berasal dari Brasil dan termasuk dalam familia Anacardiaceae yang meliputi 60 genus dan 400 spesies baik dalam bentuk pohon maupun perdu. Tanaman jambu mete disebut juga acajou atau anacardier (Perancis), cashew (Inggris), kajus atau jambo nirung (Malaysia), kasoy atau kachui (Filiphina), caju atau mudiri (India) dan ya-koi atau ya-ruang (Thailand). Di Indonesia jambu mete memiliki nama yang berbeda di banyak daerah, yaitu jambu mete (Jawa), jambu mede (sunda), jambu monyet (Jawa dan Sumatera), jambu jipang atau jambu dwipa (Bali), jambu siki, jambu erang atau gaju (Sumatera) dan boa frangsi (Maluku).

Di Indonesia, sektor pertanian termasuk perkebunan masih memegang peranan cukup strategis dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Selama sepuluh tahun terakhir, peranan sektor pertanian terhadap PDB menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, yaitu rata-rata 4% per tahun. Sektor pertanian diharapkan mampu menyediakan lapangan kerja, menyediakan bahan baku bagi industri hasil pertanian dan meningkatkan perolehan devisa negara dengan jalan meningkatkan volume dan nilai ekspor hasil pertanian. 

Jambu Mete (Anacardium occidentale L.)
Sektor pertanian semakin penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional, mengingat makin terbatasnya peranan minyak bumi yang selama ini merupakan sumber utama devisa negara. Selama tahun 1994-1995 sub sektor perkebunan menyumbang sekitar 12,7% dari perolehan devisa yang dihasilkan dari sektor non-migas.

Keunggulan komparatif sektor perkebunan dibandingkan dengan sub sektor non migas lain adalah ketersediaan lahan, iklim menunjang, dan ketersediaan tenaga kerja. Kondisi tersebut merupakan hal yang dapat memperkuat daya saing harga produk perkebunan Indonesia di pasaran dunia.

Salah satu komoditas perkebunan yang berperan dalam menyumbang perolehan devisa negara adalah biji jambu mete (cashewnut). Pada tahun 1997, ekspor biji jambu mete dari Indonesia telah mencapai 29.666 ton dengan nilai US$ 19.152.000.

Luas areal perkebunan jambu mete di Indonesia pada tahun 1997 adalah 560.813 Ha dan tersebar di berbagai provinsi sebagaimana terlihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Luas Areal Perkebunan Mete Di Indonesia, 1997


No.
Propinsi
Luas Areal (Ha)
Persentase (%)
1
Sulawesi Tenggara
169.926,34
30,30
2
Nusa Tenggara Timur
112.162,60
20,00
3
Sulawesi Selatan
84.682,76
15,10
4
Jawa Timur
48.790,73
8,70
5
Nusa Tenggara Barat
41.500,16
7,40
6
Bali
20.750,08
3,70
7
Maluku, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah dan
DIY
83.000,33
14,80
  Total
560.813
100,00
Sumber: Agribisnis.deptan.go.id

Produksi gelondong jambu mete pada tahun 1991 adalah 57.274 ton dan mengalami peningkatan menjadi 92.390 ton pada tahun 2000. Kacang mete Indonesia hanya memiliki pangsa 0,98% di pasar internasional. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan negara lain seperti India (37,60%), Brazil (11,96%), dan Tanzania (7,77%).

Lahan potensial yang dimanfaatkan untuk tanaman jambu mete di Kabupten Wonogiri pada tahun 2002 tercantum pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat Diperinci Per Kecamatan di Kabupaten Wonogiri, 2002


No.
Kecamatan
Luas Areal (Ha)
Produksi
Wose
(Ton)
Jml
KK Petani
Ditanam
Dipanen
Rusak
Jumlah
1
Pracimantoro
76
160
14
250
103
4,890
2
Paranggupito
170
51
7
228
49
663
3
Giritontro
122
135
26
283
129
2,041
4
Giriwoyo
42
193
29
264
185
2,041
5
Batuwarno
163
255
23
441
240
2,385
6
Karangtengah
5
34
12
51
32
239
7
Tirtomoyo
25
168
26
219
161
2,650
8
Nguntoronadi
63
176
19
258
169
2,170
9
Baturetno
43
243
24
310
213
2,170
10
Eromoko
181
277
11
469
265
5,814
11
Wuryantoro
76
160
14
250
154
2,333
12
Manyaran
79
186
12
277
178
3,153
13
Selogiri
26
342
19
387
328
2,361
14
Wonogiri
93
397
19
509
387
3,014
15
Ngadirojo
385
2,498
157
3,040
2,438
10,309
16
Sidoharjo
1,534
1,435
116
3,085
1,385
5,607
17
Jatiroto
1,531
1,446
113
3,090
1,388
3,299
18
Kismantoro
90
645
15
750
607
3,970
19
Purwantoro
335
414
21
770
389
4,704
20
Bulukerto
282
290
23
595
267
3,107
21
Puhpelem*
-
-
-
-
-
-
22
Slogohimo
430
431
16
877
405
4,148
23
Jatisrono
553
1,236
114
1,903
1,201
7,230
24
Jatipurno
161
515
23
699
496
3,873
25
Girimarto
180
810
13
1,003
778
4,450
Jumlah 2002
6.645
12.497
866
20.008
11.947
86.621
Jumlah 2001
7.236
12.033
787
20.056
3.544
87.980
Jumlah 2000
6.641
12.145
870
19.656
3.483
87.980
Jumlah 1999
6.645
12.445
870
19.960
3.584
87.980
Jumlah 1998
5.643
11.445
370
17.458
3.504
87.980
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Wonogiri

Penulisan paper ini didasarkan hasil survai di Desa Gunung Sari dan Tanjung Sari, Kabupaten Wonogiri. Meskipun sebagian besar perkebunan Jambu Mete berada di luar Pulau Jawa, namun proses pengolahannya tidak di luar Pulau Jawa. Pengolahan Mete di Wonogiri telah berkembang menjadi salah satu sentra pengolahan mete karena didukung oleh kondisi geografis yang sesuai untuk perkebunan jambu mete, di mana usaha pengolahan mete di Wonogiri sebagian besar masih dalam skala kecil.

Usaha pengolahan kacang mete memberikan dampak positif terutama bagi masyarakat di sekitar antara lain berupa penyediaan lapangan kerja. Keunggulan lain usaha pengolahan mete adalah proses produksi yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan karena limbah proses produksi mete berupa kulit biji mete dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produk lain seperti pembuatan kampas rem dan kulit ari mete juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran pakan ternak.

Sumber :  
  • Bank Indonesia: Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) 
Baca posting selanjutnya: Lokasi usaha produksi pengolahan...

Kamis, 10 Februari 2011

JURNAL : Transesterifikasi Parsial Minyak Kelapa Sawit dengan EtOH pada Pembuatan Digliserida sebagai Agen Pengemulsi

ABSTRAK : Laju pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit yang tinggi, mendorong perlunya diversifikasi minyak kelapa sawit menjadi produk lain dengan nilai ekonomis tinggi, salah satunya adalah sebagai agen pengemulsi. Agen pengemulsi yang dibuat dari minyak nabati bersifat biodegradable, sehingga tidak mencemari lingkungan, dan kesinambungan pengadaannya terjamin karena berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Dalam produksi agen pengemulsi berbahan baku minyak kelapa sawit, reaksi transesterifikasi merupakan tahapan awal yang akan mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit. Proses transesterifikasi menggunakan NaOH sebagai katalis dan minyak kelapa sawit. Variabel yang divariasikan adalah persen berat katalis NaOH (0,1; 0,2; 0,3; dan 0,4 {mol NaOH/kg minyak}), suhu transesterifikasi (40, 50, 60, dan 70oC), waktu transesterifikasi (15, 20, 25 dan 30 menit), dan rasio reaktan (1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6{mol minyak:mol etanol}), untuk mengkaji pengaruhnya terhadap kinerja produk digliserida yang dihasilkan. Produk digliserida diuji kemampuannya sebagai agen pengemulsi dalam menurunkan tegangan permukaan air, serta dalam menjaga kestabilan emulsi minyak/air.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk digliserida memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan air optimum pada persen berat katalis NaOH sebesar 0,3 mol NaOH/kg minyak, suhu transesterifikasi 50oC, waktu reaksi 30 menit, dan rasio reaktan 1:6 mol minyak:mol etanol.

Kata kunci: agen pengemulsi, digliserida, minyak kelapa sawit, NaOH, transesterifikasi
teks lengkap >>

Agroindustri Keripik Pisang di Jawa Timur: Suatu Tinjauan Kasus Agroindustri

Jawa Timur merupakan salah satu sentra produksi pisang di Indonesia. Kabupaten Lumajang populer sebagai sentra produksi pisang agung. Untuk meningkatkan nilai tambah, pemerintah mengembangkan agroindustri keripik pisang. Pengembangan industri dilakukan secara terpadu dan berorientasi pada upaya peningkatan nilai tambah dan pemerataan pendapatan.

Meskipun industri pengolahan keripik pisang telah berkembang, petani masih menanam pisang sebagai tanaman sampingan di pekarangan atau ditanam campur dengan kopi, palawija atau hortikultura. Teknologi yang diterapkan masih sederhana sehingga produktivitasnya rendah. Petani belum mengatur jadwal tanam atau panen sehingga pasokan dan harga belum stabil.

Agroindustri keripik pisang umumnya berskala kecil atau rumah tangga, dengan pengelolaan usaha dari mengolah bahan baku hingga pemasaran. Belum ada usaha yang berspesialisasi pada salah satu kegiatan, misalnya bahan baku saja, bahan setengah jadi saja, pengolahan lanjutan dan pengemasan atau pemasaran. Hal ini menyulitkan dalam mengembangkan industri dengan sistem kluster dan menghambat pemerataan perolehan nilai tambah.

Agroindustri keripik pisang di Lumajang memberikan nilai tambah relatif kecil, hanya Rp6.684/kg keripik. Ini pun terpusat pada industri besar. Spesialisasi industri rumah tangga sebagai pengolah keripik setengah jadi dan finalisasi oleh industri besar akan membagi keuntungan lebih proporsional dan usaha skala besar menjadi lebih optimal.

Nilai tambah yang tidak dapat dihitung adalah meningkatnya pengetahuan, keterampilan, pasar, serta aspek sosial ekonomi. Pada jejaring usaha belum terbentuk kemitraan yang formal, tetapi lebih berdasarkan kepercayaan.

JURNAL : Evaluasi Potensi Makroalga Air Tawar Spirogyra sp., Hydrodictyon sp., Chara sp., Nitella sp., dan Cladophora sp. sebagai Sumber Minyak Nabati

ABSTRAK : Penelitian mengenai potensi minyak Jarak dan Kelapa Sawit sebagai sumber energi terbarukan telah banyak dilaporkan. Namun demikian, alga pun memiliki potensi yang menjanjikan sebagai sumber energi terbarukan untuk bahan baku produksi biodiesel.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jenis makroalga air tawar yang mengandung kadar minyak tinggi yang dapat dikonversi menjadi biodiesel. Sampel makroalga hijau air tawar dikoleksi dari kolam dan sungai di Kebun Raya Bogor, sawah di Dago Biru (Bandung), Danau Lido di Sukabumi, dan Danau Situ Bagendit di Garut.

Sampel makroalga selanjutnya dibersihkan dan dikeringkan dengan cara dijemur selama 1-2 hari lalu ditimbang dan kemudian dikeringkan kembali di dalam oven dengan suhu 60oC selama 2-3 hari hingga diperoleh berat kering yang konstan. Sampel alga yang telah kering lalu diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut n-heksan selama 2x24 jam, kemudian dipartisi dengan metanol dan dilakukan penghilangan pigmen yang terlarut dengan menggunakan karbon aktif selama 2-3 hari.

Hasil ekstraksi kemudian diuapkan dengan vacuum evaporator dan diperoleh minyak alga. Kualitas minyak alga hasil ekstraksi selanjutnya dianalisis berdasarkan nilai angka asam, angka penyabunan dan angka iodium menggunakan metode standar, yaitu berturut-turut FBI-A01-03, FBIA03-03 dan FBI-A04-03. Hasil analisis kuantifikasi kadar minyak makroalga yang diuji menunjukkan Nitella sp. 0,61% b/b, Cladophora sp. 0,57% b/b, Hydrodictyon sp. 0,54% b/b, Chara sp. 0,3% b/b, dan Spirogyra sp. 0,15% b/b.

Hasil pengujian kualitas minyak makroalga menunjukkan angka asam pada kisaran 55-143 mg KOH/g yang mengindikasikan kondisi asam tinggi pada minyak alga tersebut, angka penyabunan dengan nilai 400-500 mg KOH/g menunjukkan minyak alga memiliki rantai karbon yang pendek yaitu berada pada kisaran asam butirat (C-4) sehingga lebih cocok dimanfaatkan sebagai sumber pangan (seperti suplemen) dan pakan ternak, dan angka iodium pada kisaran 3-28 g I2/100 g yang berada pada kisaran persyaratan standar bahan baku biodiesel.

Kata Kunci: Makroalga, biodiesel, minyak alga
teks lengkap >>

Selasa, 08 Februari 2011

Agroindustri Pengolahan Keripik Buah Menggunakan Mesin Penggorengan Vakum (Vaccum Fryer)

Mesin penggorengan hampa atau penggoreng vacuum (vaccum fryer) adalah mesin yang berfungsi untuk memproduski atau mengolah aneka produk keripik buah atau keripik sayuran dengan prinsip kerja sistem penggorengan vakum.

Penggorengan vakum merupakan cara pengolahan yang tepat untuk menghasilkan kripik buah-buahan dengan mutu tinggi. Dengan teknologi ini buah-buahan yang melimpah dan terbuang pada saat musim buah, dapat dimanfaatkan sehingga tetap memiliki harga jual tinggi.

Cara menggoreng dengan menggunakan penggoreng vakum (hampa udara), akan menghasilkan kripik dengan warna dan aroma buah asli serta rasa lebih renyah. Kerenyahan tersebut diperoleh karena proses penurunan kadar air dalam buah terjadi secara berangsur-angsur.

Skema Mesin Penggorengan Vakum

1. Sumber panas 8. Kondensor
2. Tabung penggoreng 9. Saluran hisap uap air
3. Tuas pengaduk 10. Water-jet
4. Pengendali suhu 11. Pompa sirkulasi
5. Penampung kondensat 12. Saluran air pendingin
6. Pengukur vakum 13. Bak air sirkulasi
7. Keranjang penampung bahan 14. Kerangka

Proses Pengolahan Kripik Buah 

A. Persiapan Bahan

Pilih buah-buahan dengan tingkat kematangan optimal dan daging buah tidak terlalu tebal. Kemudian kupas kulitnya, tiriskan dan lakukan pemblansiran jika diperlukan.

B. Penggorengan
  1. Isi bak air sampai + 3 cm dari permukaan bak sirkulasi.
  2. Masukkan minyak goreng ke dalam tabung sampai dasar keranjang buah. 
  3. Pastikan tombol pengendali suhu pada posisi off sewaktu menghubungkan regulator LPG dengan tabung. 
  4. Periksa kedudukan jarum penyetel suhu pada 85°C-95°C, kemudian hubungkan steker boks pengendali suhu dengan listrik 220 volt, minimal 1300 watt. 
  5. Tekan tombol pengendali suhu pada posisi on dan nyalakan kompor gas. 
  6. Setelah tercapai suhu yang diset (ditandai nyala kompor mengecil), masukkan bahan maksimum sebanyak 3,5 kg ke dalam keranjang penggoreng kemudian tutup. 
  7. Pasang tutup tabung penggoreng dan kunci rapat-rapat, tutup kran pelepas vakum, nyalakan pompa dengan menekan tombol besar dalam posisi on pada boks pengontrol sambil membuka kran sirkulasi air di atas tabung jet, tunggu hingga air keluar dari selang bagian atas kondensor. 
  8. Setelah vakum meter menunjukkan angka 700 mmHg, turunkan keranjang ke dalam minyak dengan memutar tuas pengaduk setengah putaran (180°). Goyanglah tuas setiap 5 menit untuk meratakan pemanasan. 
  9. Pada saat bahan dimasukkan ke dalam minyak, suhu akan turun, jarum meter vakum bergerak ke kanan, kaca pengintai menjadi berembun. 
  10. Setelah matang, buih pada tabung penggorengan akan hilang (lihat dari kaca pengintai dengan menekan tombol lampu ke posisi on) angkat bahan ke atas minyak dengan memutar tuas pengaduk 180° dan kunci. Matikan pompa, kompor, dan kran sirkulasi air, kemudian buka kran pelepas vakum (di atas tutup), pelanpelan hingga vakum meter menunjuk angka 0. 
  11. Buka tutup tabung dan keranjang penggoreng, angkat keripik buah dan tiriskan pada mesin pengering. 
  12. Selanjutnya keripik buah dikemas dalam allumunium foi/atau plastik propilen dengan ketebalan 0,8 mm kemudian direkatkan dengan mesin sealer. 
Spesifikasi Mesin Penggoreng: 

1. Spesifikasi mesin 
  • Kapasitas : 3-3,5 kg/proses
  • Vol. minyak goreng : 30 - 35 It
  • Kebutuhan gas LPG : 0,2-0,3 kg/jam
  • Kebutuhan daya :
- Pompa vakum : 900 watt 
- Spinner (pengering) : 300 watt
- Sealer : 300 watt 
  • Ukuran mesin : (120 x 120 x 60) cm2
 2. Kapasitas satu kali proses kripik nangka atau pisang 
  • Bahan maksimal : 3,5 kg
  • Lama penggorengan : 55-75 menit
  • Susut minyak goreng : + 0,7 It
  • Gas terpakai : Rp 975,-
  • Listrik : 0,75 kwh
  • Tenaga kerja : 2 orang
  • Hasil kripik nangka : 0,8 -1,2 kg
  • Hasil kripik pisang : 1,5 -1,6 kg

Sumber : IP2TP Jakarta, 2000. Laporan Akhir Penelitian Adaptif Teknologi Pasca Panen Buah-Buahan  

Artikel Menarik Lainnya :
  • Agroindustri Pengolahan Selai Tomat 
  • Teknologi Pembuatan Pasta Tomat Skala Pilot di Kabupaten Garut
  • Formula Sanitizer untuk Mengurangi Kontaminan Mikroba pada Sayuran Segar
  • Sekilas Tentang Tanaman dan Pengolahan Tomat
  • Agroindustri Pengolahan Produk Saos Tomat
  • Agroindustri Pengolahan Produk Manisan Tomat 
  • Agroindustri Pengolahan Pangan Sari Buah dan Sirup Buah 
  • Teknologi Pengolahan Jus Jeruk Siam
  • Teknologi Pengolahan Puree Mangga 
  • PENGOLAHAN PANGAN: Buah dan Sayuran

JURNAL : Prospek Pengolahan Hasil Samping Buah Kelapa

ABSTRAK : Daging buah adalah komponen utama dari buah kelapa; sedangkan sabut, tempurung, dan air buah merupakan hasil samping (by-product). Dengan produksi buah kelapa di Indonesia rata-rata 15,5 milyar butir/tahun, total bahan ikutan yang dapat diperoleh 3,75 juta ton air, 0,75 juta ton arang tempurung, 1,8 juta ton serat sabut, dan 3,3 juta ton debu sabut sebagai hasil samping.

Kelayakan usaha pengolahan hasil samping buah kelapa sangat menjanjikan bila direncanakan dan dikelola dengan baik. Berdasarkan analisis finansial tahun 2004, B/C dan IRR pengolahan sabut menjadi serat dan debu sabut selama 10 tahun adalah 3,58 dan 76%; tempurung menjadi arang selama 5 tahun 1,11 dan 23%; dan air kelapa menjadi nata de coco selama 5 tahun 1,32 dan 32%.

Pengembangan industri pengolahan hasil samping harus ditunjang oleh kelayakan teknis terutama ketersediaan pasokan bahan baku dan pemasaran, serta alat pengolahan yang sesuai untuk pengolahan sabut. Untuk mendapatkan bahan baku yang cukup bagi pengolahan sabut diperlukan areal kelapa seluas 300 ha. Pengolahan sabut ini harus dipadukan dengan pengolahan debu sabut menjadi kompos sehingga diperoleh pendapatan tambahan. Untuk memproduksi 1 ton serat sabut diperoleh sekitar 5 ton debu sabut. Lokasi pengolahan hasil samping sebaiknya di sekitar sumber bahan baku dan untuk menjamin kontinuitas pengadaan dan pemasaran produk disarankan usaha-usaha tersebut dalam bentuk usaha bersama.

Kata kunci: Kelapa, Cocos nucifera L., pengolahan, hasil samping
teks lengkap >>

Senin, 07 Februari 2011

JURNAL : Penetapan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Sumatera Selatan dari Perspektif Pasar Monopoli Bilateral

ABSTRAK : Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui posisi harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam rentang harga hasil pendekatan pasar monopoli bilateral, dalam pengertian apakah telah memberikan perlindungan kepada petani dan mendekati harga yang mencerminkan kekuatan tawar menawar yang seimbang, atau lebih mengarah pada harga monopsonis, atau malah mengarah pada harga monopoli.

Tiga pola perusahaan inti rakyat (PIR) menjadi sampel untuk dikaji kondisi dan datanya (1998-2002) dalam penelitian ini, yaitu PIRTransmigrasi manajemen swasta dan BUMN, dan PIR-KUK. Alat analisis yang digunakan adalah model ekonometrika persamaan tunggal permintaan dan penawaran TBS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga TBS ketetapan pemerintah daerah telah melindungi petani plasma dari kemungkinan penerapan harga pasar monopsoni yang dapat terjadi tanpa intervensi kebijakan tersebut. Namun tingkat harga TBS tersebut dalam perspektif pasar monopoli bilateral, dimana KUD merepresentasikan petani sebagai monopolis, masih cenderung lebih dekat ke harga monopsonis. Hal ini juga mencerminkan lebih kuatnya posisi tawar perusahaan inti ketimbang petani, dan posisi harga TBS sebagai turunan harga CPO dunia. Diperlukan komitmen dan upaya yang lebih serius oleh kedua pihak untuk meningkatkan kerjasama kemitraan dalam rangka mendapatkan harga TBS yang lebih adil.

Kata kunci : Kelapa Sawit, TBS, CPO, PIR, Harga, Monopsoni, Monopoli, Monopoli bilateral
teks lengkap >>

Minggu, 06 Februari 2011

JURNAL : Analisis Daya Saing Kakao dan Kakao Olahan Indonesia

ABSTRAK : Perkembangan ekspor kakao dan produk kakao Indonesia cukup pesat. Hampir sekitar 80% dari produksi kakao nasional di ekspor karena daya serap industri pengolahan dalam negeri relatif rendah. Namun citra mutu kakao Indonesia yang dikenal rendah serta rendahnya kapasitas industri pengolahan dapat menghambat peningkatan daya saing kakao dan kakao olahan Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya saing kakao dan kakao olahan Indonesia dan faktor-faktor apa yang menjadi penentu daya saing komoditi tersebut di pasar internasional serta bagaimana strategi untuk meningkatkan daya saing kakao dan kakao olahan Indonesia.

Analisis data dalam Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis Constant Market Share (CMS), Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), dan Analisis faktor penentu daya saing dengan pendekatan lingkungan eksternal dan internal untuk formulasi strategi.

Hasil penelitian terhadap lima produk kakao yaitu Kakao Biji (SITC 0721), Kakao Bubuk (SITC 0722), Kakao Pasta (S1TC 0723), Kakao Buffer (SITC 0724) serta Cokelat dan Produk Cokelat (SITC 073) memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki spesialisasi ekspor untuk komoditas kakao biji, kakao pasta dan kakao buffer dengan daya saing yang kuat, komoditas kakao bubuk berada pada tahap mengimpor kembali dengan daya saing rendah, sedangkan komoditas cokelat dan produk cokelat berada pada tahap perluasan ekspor dengan daya saing yang kuat.

Daya saing produk kakao Indonesia di samping dipengaruhi oleh besarnya pemintaan dunia juga ditentukan oleh harga produk kakao Indonesia yang relatif lebih murah karena mutunya yang rendah, murahnya tenaga kerja, dan alam yang cukup produktif dibandingkan dengan negara pesaing. Selain itu, kondisi sosial budaya, situasi politik dan hubungan kelembagaan perdagangan internasional juga mempengaruhi daya saing produk kakao Indonesia di pasar dunia.

Berdasarkan hasil penelitian, direkomendasikan bahwa untuk meningkatkan daya saing kakao dan kakao olahan Indonesia, maka perhatian yang lebih intensif harus difokuskan pada peningkatan mutu produk, peningkatan kapasitas industri pengolahan dalam negeri, mempertahankan pangsa ekspor dan mencari pasar ekspor baru, peningkatan profesionalisme pelaku bisnis, peningkatan peran Asosiasi pengusaha dan kerjasama kelembagaan internasional.
teks lengkap >>

JURNAL : Analisis Resiko Lingkungan dari Pengolahan Limbah Pabrik Tahu dengan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.)

ABSTRAK : Kayu apu (Pistia stratiotes L.) sebagai tumbuhan air memiliki potensi dalam menurunkan kadar pencemar air limbah, yang memiliki kadar organik tinggi. Penelitian ini menggunakan air limbah pabrik tahu sebagai media kayu apu dengan tujuan melakukan analisis resiko lingkungan.

Berdasarkan hasil analisis kualitas lingkungan maka dapat disimpulkan berdasarkan hasil analisis kualitatif beberapa komponen resiko yang memiliki resiko tinggi yaitu pencemaran air permukaan, limbah pabrik tahu Purnomo Surabaya memiliki resiko kecil, dengan komponen yang paling berpengaruh adalah limbah cair menurut analisis semi kuantitatif serta pengaruh limbah secara keseluruhan terhadap manusia dan lingkungan sekitar pabrik tidak signifikan.

Kata kunci : kayu apu, limbah tahu, NH4+, PO43-
teks lengkap >>

Sabtu, 05 Februari 2011

Agroindustri Pengolahan Produk Bunga dan Daun Kering

Pada pengolahan produk bunga ataupun daun kering, digunakan formula bahan pengawet (Floraquit), yang diberikan dengan cara perendaman pada pangkal tangkai bunga ataupun daun sepanjang +10 cm.

Formula bahan pengawet Floraquit berguna untuk mengisi ruang atau mengganti air yang hilang pada saat proses pengeringan, dan sekaligus sebagai bahan pewarna, yang akan diserap secara osmosis ke dalam jaringan tangkai bunga/daun dari tanaman.

Proses perendaman dilakukan sampai terlihat warna yang dikehendaki terserap secara merata pada bagian permukaan bunga ataupun daun. Proses perendaman ini membutuhkan waktu selama 3 – 4 hari dan pada beberapa jenis daun dapat mencapai 10 hari.

Bunga/daun yang telah selesai diberi formula pengawet, dikeringkan dalam oven pada suhu 50̊̊ - 70̊ C selama 4 – 21 jam.

Selanjutnya dilakukan proses pemantapan warna/tekstur dengan menggantung tangkai bunga/daun secara terbalik di dalam ruang bersuhu 20̊ - 25̊ C selama 24 jam.

Untuk jenis rumput-rumputan, pengeringan dapat dilakukan secara alami dengan digantung terbalik dan dikeringanginkan dalam ruang 20̊- 25̊ C (suhu ruang ber-AC) ataupun ruang biasa (27̊-30̊ C).

Diagram Alir Proses Pengolahan Produk Bunga/Daun Kering

Sumber :
  • Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor

JURNAL : Preparasi Mannan Dan Mannanase Kasar Dari Bungkil Kelapa Sawit

ABSTRAK : Mannan yang banyak terdapat pada limbah perkebunan merupakan sumber biomasa setelah selulosa dan xylan yang masih belum banyak dimanfaatkan. Selama ini pemanfaatan biomasa mannan, terutama dari limbah bungkil kelapa sawit dan kopra, lebih ditujukan untuk pakan ternak dengan tingkat efesiensi penyerapan yang rendah. Kemajuan teknologi glikosains dan glikoteknologi memberikan manfaat tinggi dalam produksi berbagai oligosakarida yang diketahui fungsinya sebagai komponen pangan fungsional.

Dari degradasi mannan dengan beberapa jenis enzim mannanase dapat diperoleh mannose dan mannooligosakarida yang berfungsi sebagai komponen pangan fungsional karena berfungsi sebagai prebiotik. Limbah biomasa dari industri perkebunan, pertanian dan hasil hutan di Indonesia yang mengandung polisakarida mannan, terutama limbah dari produksi minyak kelapa sawit, kopra dan kopi, bisa dimanfaatkan untuk produksi mannosa dan manno-oligosakarida. Dari proses produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil, CPO) dihasilkan limbah berupa lumpur sawit dan bungkil inti sawit. Sekitar 20 ~ 40% komposisi serat dari bungkil inti ini adalah beta-mannan.

Untuk proses fermentasi, pada tahap awal, dilakukan analisa kandungan zat dan preparasi mannan dari bungkil inti kelapa sawit. Kondisi optimum preparasi awal dengan hidrolisis katalisis bungkil kelapa sawit adalah pada penggunaan 150 g/L substrat dalam air, 2% katalis, suhu 110oC yang dilakukan selama 1.0 jam.. Proses hidrolisis 250 g/L bungkil dalam air dengan 2% massa katalis dan pemanasan hingga 90oC selama 1.5 jam diikuti proses pengendapan dengan aseton 1:1 menghasilkan sampel dengan konsentrasi mannan 19,1% massa. 

Hasil hidrolisis substrat bungkil inti kelapa sawit dengan menggunakan mikroba selektif yaitu dari spesies Streptomyces dan Saccharoployspora (koleksi BTCC) menunjukan bahwa secara kualitatif senyawa oligosakarida terbentuk. Kedua isolat bakteri tersebut memproduksi enzim mannanase dengan spesifik aktivitas tertinggi setelah 24 jam masa fermentasi.

Kata kunci: Bungkil inti kelapa sawit, mannan, mannosa, manno-oligosakarida, pangan fungsional

Jumat, 04 Februari 2011

Agroindustri Pengolahan Produk Puree Buah Mangga

Pada setiap musim panen banyak terdapat buah mangga yang berukuran kecil atau bentuknya tidak normal, atau tergolong off grade. Buah seperti ini masih bernilai ekonomi karena dapat diolah menjadi berbagai produk, seperti mangga kering, puree, jus, jam/selai, jeli, dodol, fruit bar, mangga leather, mangga dalam kaleng, dan permen mangga. Puree merupakan produk antara yang dapat diolah lebih lanjut menjadi aneka produk makanan dan minuman seperti jus, jeli, dodol, dan es krim.

Tahapan proses pengolahan puree buah mangga :

Pemilahan bahan baku (manual) --->> pemeraman --->> pencucian (tersedia alat1) --->> pengupasan (manual) --->> pembuburan (tersedia alat2) --->> penyaringan (tersedia alat) --->> pasteurisasi (tersedia alat) --->> pembotolan.

1. Pemilihan bahan baku
  • Semua jenis buah mangga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan puree.  Mutu buah tidak harus dari kualitas terbaik tetapi lebih dipentingkan tingkat kematangan buah harus optimal.
2. Pemeraman
  • Pemeraman dilakukan dengan menggunakan teknik injeksi hormonal, hal ini dilakukan untuk mengatasi ketidaksamaan kematangan buah.  Tingkat kematangan sangat penting dalam menjamin kualitas produk olahanPemeraman dapat dilakukan dengan menggunakan gas asetilen 500 ppm selama 12 jam pada suhu kamar atau karbit 0,05% (b/b).  Kematangan buah secara seragam akan terjadi setelah 4 hari, sedangkan tanpa perlakuan, buah akan matang setelah 6 hari.
3. Pencucian
  • Pencucian dilakukan untuk membebaskan buah dari kotoran fisik maupun mikroba.
4. Pengupasan
  • Pengupasan dilakukan secara manual untuk mendapatkan buah dengan ukuran tertentu sehingga memudahkan pada saat dimasukkan ke dalam pulper.
5. Pembuburan
  • Proses pembuburan dilakukan dengan menggunakan pulper berkapasitas 500kg/jam.  Alat ini sudah terdaftar di Dirjen HaKI dengan nama Mesin Pembubur Daging Buah Sistem Sikat dengan Pengumpan Konveyor Ulir.
6. Pasteurisasi dan Pengemasan 
  • Pasteurisasi dilakukan dengan menggunakan pasteurizer yang dapat diatur suhu dan lama pasteurisasi.  Proses ini untuk membunuh mikroba patogen.  Pengemasan dilakukan  dengan alat pengemasan dimaksudkan agar puree mempunyai  daya simpan yang lebih lama. 

Keterangan: 1 dan 2 adalah paten milik BB Pascapanen


Diagram Alir  Proses Pengolahan Puree Buah Mangga

Sumber :  
  • Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor 

Artikel Menarik Lainnya :
  • Agroindustri Pengolahan Selai Tomat 
  • Teknologi Pembuatan Pasta Tomat Skala Pilot di Kabupaten Garut
  • Formula Sanitizer untuk Mengurangi Kontaminan Mikroba pada Sayuran Segar
  • Sekilas Tentang Tanaman dan Pengolahan Tomat
  • Agroindustri Pengolahan Produk Saos Tomat
  • Agroindustri Pengolahan Produk Manisan Tomat 
  • Agroindustri Pengolahan Pangan Sari Buah dan Sirup Buah 
  • Teknologi Pengolahan Jus Jeruk Siam
  • PENGOLAHAN PANGAN: Buah dan Sayuran
  • Penggorengan Vakum untuk Pembuatan Keripik Buah-Buahan