Jumat, 31 Desember 2010

JURNAL: Pengaruh Agen Dekomposer Terhadap Kualitas Hasil Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga

ABSTRAK: Pengomposan merupakan salah satu upaya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Pengomposan dapat dipercepat dan kualitas hasilnya dapat ditingkatkan dengan penambahan agen dekomposer. Saat ini, agen dekomposer yang diproduksi secara komersial untuk pengomposan terdapat dalam bentuk konsorsium mikroorganisme, disebut juga bioaktivator, dan cacing tanah dalam pembuatan vermikompos.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh agen dekomposer terhadap kualitas hasil pengomposan. Agen dekomposer yang akan diuji dalam penelitian ini adalah tiga produk bioaktivator komersial yang diberi kode EM, DS, dan SD serta cacing tanah spesies Lumbricus rubellus. Penelitian dilakukan pada tiga tahapan, tahap uji pendahuluan, tahap eksperimen, dan tahap analisis kompos. Pada tahap uji  pendahuluan, dilakukan karakterisasi sampah rumah tangga dari lokasi sampel penelitian, yaitu RT 01 dan 02 Perumahan Bumi Abdi Praja, Subang. Uji pendahuluan tersebut dilakukan untuk menentukan komposisi bahan awal dan bahan tambahan yang dibutuhkan pada tahapan selanjutnya. Terdapat empat perlakuan dengan enam kali pengulangan dari masing-masing perlakuan pada tahapan eksperimen. Eksperimen dilakukan secara semi anaerob di dalam tong pengomposan yang berdiameter 30 cm dengan tinggi 40 cm. Pengomposan dilakukan hingga kompos terlihat matang. Parameter yang digunakan untuk menilai kualitas kompos adalah warna, tekstur, bau, suhu kompos, pH, kandungan hara (C-Organik, NTotal, rasio C/N, P2O5, dan K2O), dan Indeks Perkecambahan atau IP (dengan uji kecambah menggunakan Apium graveolens). Setelah 30 hari, ternyata kompos sudah terlihat matang untuk semua perlakuan. Hal tersebut ditandai dengan suhu tumpukan kompos yang sudah stabil dan mendekati suhu kamar, pH mencapai netral, warna kompos coklat kehitam-hitaman, bau seperti tanah, tekstur yang meremah, dan penyusutan berat mencapai 70% hingga 81% dari berat awal. Sedangkan pada tahap selanjutnya dilakukan analisis kandungan hara kompos dan uji perkecambahan untuk melihat tingkat toksisitasnya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada kandungan hara antar ketiga perlakuan dengan bioaktivator (p<0,05). Perbedaan nyata dijumpai pada kandungan hara antara perlakuan cacing tanah dengan ketiga bioaktivator. Kandungan hara pada perlakuan dengan bioaktivator lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan cacing tanah. Nilai indeks perkecambahan dari keempat perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda secara nyata. Keseluruhan nilainya (99,33- 114,76) menunjukkan bahwa kompos yang dihasilkan tidak bersifat toksik. Bila kualitas kompos dibandingkan terhadap standar kualitas SNI 2004, terlihat bahwa kompos dari keempat perlakuan agen dekomposer telah memenuhi standar untuk parameter fisik (bau, warna, tekstur, suhu, pH, kadar air) dan kandungan unsur makro (COrganik, N-Total, rasio C/N, P2O5, dan K2O). Secara umum terlihat bahwa, dalam proses pengomposan  yang dilakukan selama 30 hari, penggunaan agen dekomposer berbentuk bioaktivator (EM, DS dan SD) menghasilkan kualitas kompos lebih baik dibandingkan dengan penggunaan cacing tanah.

Kata Kunci: Sampah organik rumah tangga, agen dekomposer, kualitas kompos
TEKS LENGKAP..

JURNAL: Pembuatan Etanol dari Sampah Pasar Melalui Proses Hidrolisis Asam dan Fermentasi Bakteri Zymomonas mobilis

ABSTRAK: Dari hasil penelitian, pada variasi komposisi sampah dan air 50%:50% dengan H2SO4 sebagai penghidrolisis, kadar etanol maksimal setelah proses fermentasi adalah 9,35%. Variasi komposisi sampah dan air 50%:50% dengan HCl sebagai penghidrolisis, kadar etanol maksimal setelah proses fermentasi adalah 9,20%. Variasi komposisi sampah dan air 75%:25% dengan H2SO4 sebagai penghidrolisis, kadar etanol maksimal setelah proses fermentasi adalah 10,13%. Waktu fermentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 hari, 5 hari, 7 hari dan 9 hari.

Kata kunci : hidrolisis, fermentasi, etanol, zymomonas mobilis
TEKS LENGKAP..

JURNAL: Pemanfaatan Biomassa Eceng Gondok dari Kolam Pengolahan Greywater sebagai Penghasil Biogas

ABSTRAK: Eceng gondok, jenis tanaman air yang sering digunakan pada pengolahan greywater. Setelah penggunaannya, eceng gondok dibuang tanpa pengolahan lebih lanjut. Padahal tumbuhan ini merupakan biomassa yang dapat dikonversi menjadi biogas melalui proses anaerobic digestion. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi eceng gondok tersebut dalam menghasilkan biogas.  

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penambahan biostarter 1,25 g kotoran sapi, dapat meningkatkan produksi biogas 5 kali lipat yaitu 45 L biogas/kg Total Solids (TS) dibandingkan kontrol.. Sedangkan biostarter dengan usus bekicot tidak menghasilkan biogas sama sekali. Penambahan jumlah biostarter menjadi 50 g kotoran sapi hanya meningkatkan 6,3 kali lipat yaitu 57 L biogas/kg TS. Adanya perlakuan hidrolisis asam terhadap substrat eceng gondok dan tanpa biostarter hanya menghasilkan 0,1 kali yaitu 9 L biogas/kg TS. Sedanngkan dengan adanya perlakuan hidrolisis asam dan penambahan biostarter 1,25 g kotoran sapi, menghasilkan biogas 5,3 kali lipat yaitu 48 L biogas/kg TS. Oleh karena itu, perlakuan hidrolisis asam terhadap substrat eceng gondok dinilai kurang menguntungkan.

Kata Kunci: eceng gondok, biogas, anaerobic digestion, hidrolisis asam

JURNAL: Prospek Pengembangan Industri Bioetanol Dari Ubi Kayu

ABSTRAK: Kebutuhan bioetanol sebagai campuran bahan bakar bensin akan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang. Sejak keluarnya Perpres N0 5 Tahun 2006 tentang pengembangan sumber energi terbarukan, upaya pengembangan biofuel yang terdiri atas biodiesel, bioetanol dan bio-oil sebagai substitusi BBM (bahan bakar minyak) semakin digalakkan. 

Untuk mengembangkan industri bioetanol di Indonesia maka bahan baku yang cukup tersedia antara lain tebu, molases, ubi kayu, dan sagu. Ubi kayu dipandang cukup prospektif ditinjau dari berbagai aspek dibanding molases yang selama ini digunakan sebagai bahan baku etanol.

Kata kunci: industri, bioetanol, ubi kayu.

Rabu, 29 Desember 2010

JURNAL: Tingkat Toksisitas Limbah Cair Pulp dan Kertas PT. Blabak Magelang Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Kadar Protein Biji Tanaman Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L)

ABSTRAK: Kacang merah (Phaseolus vulgaris L) ditumbuhkan pada media limbah cair pulp dan kertas dengan konsentrasi 0%, 1%, 2%, 5%, 10%,15%, 25%, 50% dan 100% dengan tiga kali ulangan. Setelah itu dilakukan dengan tiga tahap yaitu tahap orientasi, tahap uji pendahuluan, dan tahap uji sesungguhnya. Pengamatan dilakukan selama 4 hari untuk menentukan LC 50-96 jamnya. Parameter kualitas air limbah secara fisik yang diamati adalah suhu, warna,dan bau, parameter kimia yang diukur adalah pH, DO,CO2, BOD, alkalinitas (HCO3).

Sedangkan parameter toksisitas adalah jumlah kematian tanaman. Setelah didapatkan nilai dari LC 50-96 jamnya, pertumbuhan tanaman dilanjutkan sampai tiba masa panen. Tingkat toksisitas LC 50-96 jam zat tercemar limbah cair pulp dan kertas terhadap kacang merah (Phaseolus vulgaris L) sebesar 62,78,3%. Perlakuan dengan limbah cair pulp dan kertas pada kadar 1-15% dapat meningkatkan pertumbuhan dan kadar protein biji tanaman kacang merah (Phaseolus vulgaris L) . Kadar protein tertinggi (16,04%) dihasilkan pada perlakuan dengan kadar limbah 15%. Pada kadar 1-15% limbah cair pulp dan kertas dapat digunakan sebagai pupuk cair.

Kata Kunci: toksisitas, limbah air, pertumbuhan, kadar protein, kacang merah
TEKS LENGKAP..

JURNAL: Diversifikasi Produk Jarak Pagar dan Nilai Ekonominya

ABSTRAK: Pembangunan industri pengolahan jarak pagar sebagai sumber energi baru dan terbarukan hanya dapat berhasil jika petani jarak pagar memperoleh keuntungan dari usaha tani jarak pagarnya. Salah satu cara untuk itu adalah dengan membuat diversifikasi produk jarak pagar.

Diversifikasi produk dilakukan dengan memilah bagian-bagian buah yaitu kulit dan biji, dari biji dipres menjadi CJO dan bungkil. Hasil diversifikasi menunjukkan bahwa produk minyak jarak pagar kasar (CJO) selain dapat dipakai sebagai pengganti minyak tanah dan jika diproses lebih lanjut dapat diperoleh produk biodiesel dan gliserol, bungkil jarak pagar dapat diproses menjadi kompos, biogas, atau briket bungkil sebagai bahan bakar untuk memasak. Selain itu kulit buah jarak pagar dapat pula diproses menjadi kompos. Jika satu hektar tanaman jarak pagar memproduksi 6,5 ton biji kering dan 22,6 ton kulit kapsul, maka akan didapat nilai ekonomi berbagai produk yang dihasilkan antara Rp17,9 juta sampai Rp29,5 juta tergantung dari kombinasi produk yang dihasilkan.

Kata kunci: Jarak pagar, Jatropha curcas, diversifikasi produk, nilai ekonomi
FULL TEXT..

Bagaimana Memproduksi Biogas dalam Skala Laboratorium

Gb.1. Sistem koneksi
Artikel ini merupakan tutorial mengenai bagaimana caranya memproduksi biogas dalam skala kecil (skala laboratorium) yang dapat digunakan untuk demonstrasi atau eksperimen di laboratorium sekolah. Pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan secara singkat tentang alat dan bahan yang harus disiapkan untuk  pekerjaan tersbut. Penjelasan mengenai prosedur produksi biogas skala laboratorium dapat dibaca pada artikel selanjutnya.

Pembuatan:
  • Peralatan yang akan digunakan sebagai digester adalah gallon air 18 Liter yang sudah tidak dipakai lagi. Campuran air dan kotoran ternak akan menghasilkan biogas yang akan ditampung di balon plastik.

Alat:
  • Gb.2. Peralatan dan Bahan
    Pisau atau cutter
  • Gunting
  • Obeng atau kunci inggris
  • Bor tau alat lainnya untuk melubangi penutup botol kayu.
  • Lem kayu
  • Isolasi
  • Kertas pasir/amplas

Bahan:
  • Gb.3. Pemasangan pipa
    Galon air 18 Liter (bekas tapi tidak boleh bocor)
  • Balon mylar atau plastik yang dapat di buat kedap udara untuk menampung biogas
  • Pipa tembaga (panjang 40 cm, diameter 0,65 mm)
  • Konektor T dengan ukuran bersesuaian (diameter 0,65 mm)
  • Sumbat botol kayu atau gabus untuk menyumbat gallon
  • Keran dengan ukuran bersesuaian
  • Corong/funnel
  • Kotoran ternak (Sapi, kerbau, kambing, ayam, diusahakan yang masih baru)

JURNAL: Degradasi Enzimatik Selulosa dari Batang Pohon Pisang untuk Produksi Glukosa dengan Bantuan Aktivitas Selulolitik Trichoderma viride

ABSTRAK: Selulosa adalah karbohidrat paling melimpah di alam, namun pemanfaatannya belum optimum. Selulosa terdiri atas monomer glukosa yang dihubungkan dengan ikatan B-1,4-glikosida. Dengan menghidrolisis ikatan glikosida, dapat diperoleh glukosa, yang kemudian dapat digunakan untuk berbagai tujuan, seperti produksi bioetanol. Salah satu masalah pada hidrolisis selulosa adalah keberadaan lignin dan hemiselulosa yang menjadi penghambat bagi hidrolisis selulosa.  

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan efisiensi degradasi enzimatik selulosa dari batang pohon pisang oleh kapang Trichoderma viride. Optimasi hidrolisis selulosa dilakukan dengan memvariasikan pH awal, suhu, ukuran partikel, konsentrasi substrat, dan waktu inkubasi. Kami juga menentukan pengaruh preparasi substrat menggunakan natrium hidroksida dan delignifikasi dengan menggunakan jamur white rot, Phanerocheate chrysosporium, terhadap hidrolisis selulosa. Preparasi dengan menggunakan natrium hidroksida dilakukan dengan menggunakan autoclave selama satu jam, sedangkan preparasi dengan jamur white rot dilakukan dengan menginkubasi substrat selama dua hari dengan jamur tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH awal, suhu, ukuran partikel, konsentrasi substrat, dan waktu inkubasi optimum masing-masing adalah 5,0, 50oC, 100 mesh, 6% (w/v) dan 8 hari. Di antara preparasi substrat yang dilakukan, preparasi dengan menggunakan natrium hidroksida adalah preparasi terbaik yang menghasilkan konsentrasi glukosa tertinggi. 

Kata kunci: Selulosa, selulase, glukosa, Trichoderma viride
TEKS LENGKAP..

JURNAL: Kajian Penerapan Ekologi Industri di Indonesia

ABSTRAK: Pengembangan ekologi industri merupakan suatu usaha untuk membuat konsep baru dalam mempelajari dampak sistem industri pada lingkungan. Ekologi industri adalah suatu sistem yang digunakan untuk mengelola aliran energi atau material sehingga diperoleh efisiensi yang tinggi dan menghasilkan sedikit polusi.  

Tujuan utamanya adalah untuk mengorganisasi sistem industri sehingga diperoleh suatu jenis operasi yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Strategi untuk mengimplementasikan konsep ekologi industri ada empat elemen utama yaitu : mengoptimasi penggunaan sumber daya yang ada, membuat suatu siklus material yang tertutup dan meminimalkan emisi, proses dematerialisasi dan pengurangan dan penghilangan ketergantungan pada sumber energi yang tidak terbarukan. Pada kajian ini membahas penerapan ekologi industri di Indonesia. Industri di Indonesia berupa kawasan industri yang masih belum memiliki simbiosis satu sama lain sehingga masih menghasilkan polusi ke lingkungan. Dengan menerapkan konsep ekologi industri, kawasan industri dapat mengembangkan sistem pertukaran limbah yang dapat bermanfaat bagi industri tersebut. Indonesia sebagai negara agraris dapat mengembangkan ekologi industri berbasis agroindustri. Keuntungan yang dapat diperoleh yaitu penurunan jumlah konsumsi energi fosil, sumber daya alam, dan mengurangi dampak lingkungan. Biaya produksi juga dapat dikurangi.

Kata kunci: ekologi industri, kawasan industri, agroindustri

Senin, 27 Desember 2010

JURNAL: Peningkatan Produktifitas Etanol dengan Teknik Immobilisasi Sel Ca-Alginat Menggunakan Zymomonas mobilis dalam Bioreactor Packed–Bed

ABSTRAK: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan parameter teknik immobilisasi sel Ca-alginat dalam bioreaktor kontinyu packed bed guna mendapatkan informasi tentang karakteristik kinerja sistem agar diperoleh produktivitas etanol yang tinggi dari molases oleh bakteriZymomonas mobilis yang ditinjau dari yield etanol yang lebih besar dan laju produksi yang tinggi.

Fermentasi berlangsung pada suhu 30oC, pH 4, konsentrasi glukosa masing –masing 107 g/l (10%v/v), 85,6 g/l (8%v/v), rate feed 2 ml/menit di dalam fermentor ditambahkan Ca-alginat masing-masing 4%, 6%, 8% w/v untuk melindungi bakteri yang ada di dalamnya, kemudian hasilnya diekstraksi dengan menggunakan solvent amyl alkohol. Etanol yang dihasilkan dari fermentor dan ekstraktor dihitung kadarnya dengan menggunakan Kromatografi Gas (GC). Untuk mengetahui peningkatan produktivitas etanol teknik immobilisasi Ca-alginat proses fermentasi ekstraksi, juga dilakukan penelitian produksi etanol secara batch dengan kondisi proses yang sama.

Dari hasil penelitian proses fermentasi secara batch dengan lama proses 50 jam, diperoleh hasil bahwa dengan konsentrasi glukosa 10%, kadar etanol 7,39 g/l,dan produktivitas etanol 0.205 g/l.jam yang paling baik dibandingkan dengan kadar glukosa 8%. Sedangkan dengan teknik fermentasi ekstraksi secara kontinyu menggunakan immobilisasi sel Ca-alginat, diperoleh hasil bahwa dengan rate feed 2 ml/menit, dengan konsentrasi glukosa 10 %, dan konsentrasi Ca-alginat 6 % w/v, mempunyai kadar kadar etanol, produktivitas, dan yield etanol yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan yang lain, masing-masing sebasar 53,65 g/l, 12,88 g/l.jam., dan 50,14 %. Dari kedua teknik fermentasi tersebut, fermentasi ekstraktif secara kontinyu menggunakan immobilisasi sel memberikan hasil lebih baik dibandingkan proses fermentasi batch.

Kata kunci: Immobilisasi sel, Zymomonas mobilis, Etanol, Fermentasi, Ekstraksi

JURNAL : Optimasi Pembuatan Bioetanol dari Ubi Jalar Putih (Ipomea batatas) sebagai Sumber Alternatif Bahan Bakar yang Terbarukan

ABSTRAK: Bioetanol merupakan salah satu solusi untuk mengurangi eksploitasi minyak bumi dan masalah global warming. Penambahan bioetanol ke dalam bensin dapat meningkatkan nilai oktan kendaraan bermotor. Pembuatan bioetanol dapat dilakukan terhadap tanaman berpati, dan salah satunya adalah ubi jalar putih. Penggunaan ubi jalar putih dapat menambah ragam bahan dasar pembuatan bioetanol yang ekonomis dan mudah diperoleh.  

Teknik pembuatan bioetanol dilakukan dengan proses HFT (Hidrolisis Fermentasi Terpisah) dimana ubi jalar dihidrolisis secara enzimatik dengan enzim amilase dari Aspergilus niger menjadi glukosa, kemudian dilanjutkan fermentasi menggunakan Saccharomyces cereviseae menjadi bioetanol dengan kondisi optimum masing-masing. Optimasi aktivitas enzim dilakukan dengan mengetahui masa idiofase kedua mikroba, yaitu hari ke-5 masa pertumbuhan Aspergilus niger dan jam ke 18-26 untuk Saccharomyces cereviseae. Hidrolisis dilakukan dengan memvariasi jumlah sel Aspergilus niger (20-60 mL) pada hari ke-5 masa pertumbuhannya dan waktu inkubasi 1-3 jam. Hidrolisis optimum terjadi pada penambahan 50 mL dan waktu inkubasi 2 jam. Fermentasi dilakukan dengan memvariasi waktu inkubasi 2-5 hari dan jumlah sel Saccharomyces cereviseae (2;4;6;dan 8 mL) pada masa pertumbuhan 18-26 jam. Fermentasi optimum diperoleh pada waktu inkubasi 3 hari dan penambahan Saccharomyces cereviseae 4 mL. Rendemen bioetanol yang diperoleh dengan kondisi optimum adalah 136 mL/Kg ubi jalar.

Keyword: bioetanol, teknik HFT, Aspergilus niger, Saccharomyces cerevisiae

JURNAL: Studi Pendahuluan Konversi Alkohol Dari Senyawa Pati Tepung Tapioka Menggunakan Jamur Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, dan Rhizopus stolonifer

ABSTRAK: Bioetanol telah dipercaya sejak lama untuk menjadi bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil. Salah satu fungi yang memiliki potensi besar dalam pengembangan riset bioetanol adalah Rhizopus sp. karena jamur tersebut memiliki enzim glukoamilase yang dapat mengubah pati menjadi glukosa, serta metabolismenya mampu mengkonversi glukosa menjadi alkohol sehingga tahap sakarifikasi dan fermentasi dapat berjalan secara simultan.  

Penelitian ini memfokuskan pada penggalian potensi tersebut pada inokulum 3 spesies Rhizopus, yaitu R.oryzae, R.oligosporus, dan R.stolonifer melalui optimasi konsentrasi substrat dan inokulum. Pemantauan kinerja ketiga jamur tersebut diobservasi melalui aktivitas sel yang diwakili oleh tingkat penguraian pati dan pembentukan biomassa, serta kadar etanol dalam substrat akhir hasil fermentasi yang diukur dengan titrasi redoks sehingga diperoleh satuan persentase atau jumlah etanol dalam gram/100mL substrat kerja. Variasi substrat yang digunakan dalam optimasi tahap pertama antara lain medium tapioka 10%, 15%, 20%, dan 22% (w/v), sedangkan variasi inokulum yang digunakan dalam optimasi tahap kedua adalah 4 x 105, 4 x 106, dan 4 x 107 spora/mL. Pada optimasi tahap pertama, produksi etanol tertinggi dihasilkan dari medium tapioka 20%, dengan efisiensi konversi sebesar 28,12% untuk R.oryzae, 16,64% untuk R.oligosporus, dan 16,02% untuk R.stolonifer

Pada optimasi tahap kedua, produksi etanol tertinggi dihasilkan dari inokulum yang berjumlah 4 x 107 spora/mL, dengan efisiensi konversi sebesar 45,07% untuk R.oryzae, 45,19% untuk R.oligosporus, dan 46,44% untuk R.stolonifer. Berdasarkan perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketiga jamur memiliki kemampuan alami untuk memproduksi etanol dengan efisiensi konversi 45-46% menggunakan komposisi substrat yang terdiri dari 20% tepung tapioka (w/v) dan inokulum sebanyak 4 x 107 spora/mL.

Kata Kunci: Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, Rhizopus stolonifer, bioetanol, fermentasi alkoholik, pati tepung tapioka, enzim glukoamilase

JURNAL: Inovasi Teknologi Produksi Ubi Kayu untuk Agroindustri dan Ketahanan Pangan

ABSTRAK: Di Indonesia ubi kayu memainkan peranan penting bagi perekonomian negara. Indonesia banyak membutuhkan ubi kayu, ke depan kebutuhan ubi kayu dalam negeri akan meningkat dan potensial peranannya semakin strategis sebab menjadi sumber karbohidrat penting ke-tiga setelah padi dan jagung, serta sebagai bahan baku aneka industri yang terus berkembang.  

Rata-rata produktivitas nasional komoditas ini masih rendah (15,5 ton/ha ubi segar) sebab umumnya diusahakan oleh petani kecil pada lahan kering yang tanahnya kurang subur, dengan sedikit menanam varietas unggul (10%) dan sedikit atau tidak memupuk. Sekarang telah tersedia teknologi inovatif untuk budidaya dan pengembangan ubi kayu dengan tingkat produktivitas 30–40 ton/ha ubi segar, meningkatkan pendapatan petani, dan lebih menstabilkan pasokan umbi sepanjang tahun, yakni meliputi varietas unggul berdaya hasil tinggi, sistem tanam dan pemupukan yang produktif, serta pengaturan waktu tanam dan saat tanam yang tepat.

Kata kunci: ubi kayu, teknologi inovatif

JURNAL: Prospek Pengembangan Industri Bioetanol dari Ubi Kayu

ABSTRAK: Kebutuhan bioetanol sebagai campuran bahan bakar bensin akan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang. Sejak keluarnya Perpres N0 5 Tahun 2006 tentang pengembangan sumber energi terbarukan, upaya pengembangan biofuel yang terdiri atas biodiesel, bioetanol dan bio-oil sebagai substitusi BBM (bahan bakar minyak) semakin digalakkan.  

Untuk mengembangkan industri bioetanol di Indonesia maka bahan baku yang cukup tersedia antara lain tebu, molases, ubi kayu, dan sagu. Ubi kayu dipandang cukup prospektif ditinjau dari berbagai aspek dibanding molases yang selama ini digunakan sebagai bahan baku etanol.

Kata kunci: industri, bioetanol, ubi kayu

JURNAL: Inovasi Teknologi Proses Industri Bioetanol dari Ubi Kayu Skala Perdesaan

ABSTRAK: Solusi untuk mengurangi impor bahan bakar minyak adalah meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan, diantaranya adalah bahan bakar hayati yaitu bioetanol. Ubi kayu merupakan substrat untuk pembuatan bioetanol yang paling murah dan mudah tersedia. Dengan adanya pemanfaatan ubi kayu untuk bioetanol maka diharapkan dapat mendorong industri bioetanol yang efisien sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.  

Upaya untuk melibatkan petani dalam agroindustri bioetanol, maka dikaji teknologi proses produksi bioetanol skala perdesaan. Dalam hal ini perlu dikaji penyediaan bahan baku dan teknologi prosesnya. Strategi pengembangan industri bioetanol untuk skala perdesaan dapat dilakukan dengan empat macam model, dari skala 10 ton hingga 50–100 ton ubi kayu segar per hari. Apabila model-model tersebut dapat berjalan maka diharapkan akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Kata kunci: inovasi, teknologi, bioetanol, ubi kayu

JURNAL: Kualitas Bioetanol Limbah Tapioka Padat Kering Dihaluskan (Tepung) dengan Penambahan Ragi dan H2SO4 pada Lama Fermentasi yang Berbeda

ABSTRAK: Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk sekitar dua ratus juta jiwa menghadapi masalah energi yang cukup mendasar, sebagai contoh minyak bumi. Sehingga bioetanol sebagai energi alternatif. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol adalah ketela pohon, tebu, jagung. Indonesia merupakan sentra tanaman pangan terutama Manihot utilissima pohl sebagai bahan baku pembuatan tepung tapioka.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar bioetanol hasil fermentasi limbah tapioka padat kering dihaluskan dengan penambahan ragi dan H2SO4. Bioetanol ini merupakan salah satu alternatif energi di Indonesia. Pembuatan bioetanol menggunakan limbah tapioka padat kering dihaluskan diproses dengan cara fermentasi dan destilasi sehingga menghasilkan bahan bakar yang berupa bioetanol.

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas Ilmu Pendidikan UNS dan Laboratorium Kima Fakultas Ilmu Kesehatan UMS pada bulan Desember 2008-Januari 2009. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor yaitu waktu fermentasi (W) dan dosis ragi (D). Analisis data yang digunakan adalah Anava dua jalur dan Uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test). Dari penelitian tersebut diperoleh hasil yaitu kadar alkohol tertinggi 14,43% pada W2D3 (7 hari/75 gr), sedangkan kadar alkohol terendah 3,70% pada W3D1 (9hari/25 gr). Berdasarkan hasil analisis data dapat diperoleh bahwa limbah tapioka padat kering dihaluskan mempunyai kadar alkohol tertinggi pada W2D3 dengan waktu fermentasi 7 hari dan dosis ragi 75 gr.

Kata kunci: fermentasi, limbah tapioka, kadar alkohol

JURNAL: Pemanfaatan Selulosa Bagas untuk Produksi Ethanol melalui Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak dengan Enzim Xylanase

ABSTRAK: Bagas merupakan residu padat pada proses pengolahan tebu menjadi gula, yang sejauh ini masih belum banyak dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah (added value). Bagas yang termasuk biomassa mengandung lignoselulosa sangat dimungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif seperti bioetanol atau biogas. Dengan pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dapat mengatasi krisis energi terutama sektor migas.

Pada penelitian ini telah dilakukan konversi bagas menjadi etanol dengan menggunakan enzim xylanase. Perlakuan dengan enzim lainnya saat ini sedang dikerjakan di laboratorium kami mengingat hemisulosa juga mengandung polisakarida lainnya yang dapat didekomposisi oleh berbagai enzim. Hasil penelitian menunjukkan kandungan lignoselulosa pada bagas sebesar lebih kurang 52,7% selulosa, 20% hemiselulosa, dan 24,2% lignin. Hemiselulosa merupakan polisakarida yang dapat dihidrolisis oleh enzim xylanase dan kemudian akan difermentasikan oleh yeast S. cerevisiae menjadi etanol melalui proses Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak (SSF). Beberapa parameter yang dianalisis pada penelitian ini antara lain kondisi pH (4, 4,5, dan 5), untuk meningkatkan kuantitas etanol dilakukan penambahan HCl berkonsentrasi rendah (0,5% dan 1% (v/v)) dan bagas dengan perlakuan jamur pelapuk putih (L. edodes) selama 4 minggu. Proses SSF dilakukan dengan waktu inkubasi selama 24, 48, 72, dan 96 jam. Perlakuan dengan pH 4, 4,5, dan 5 menghasilkan konsentrasi etanol tertinggi berturut-turut 2,357 g/L, 2,451 g/L, 2,709 g/L. Perlakuan penambahan HCl konsentrasi rendah mampu meningkatkan produksi etanol, penambahan dengan konsentrasi HCL 0,5 % dan 1 % berturut-turut menghasilkan etanol 2,967 g/L, 3,249 g/L. Perlakuan dengan menggunakan jamur pelapuk putih juga dapat meningkatkan produksi etanol yang dihasilkan. Setelah bagas diberi perlakuan L. edodes 4 minggu mampu menghasilkan etanol dengan hasil tertinggi 3,202 g/L.

JURNAL: Studi pendahuluan hidrolisis jerami padi (oryzasativa) menggunakan konsorsium enzim untuk produksi bioetanol

ABSTRAK: Indonesia merupakan negara agraris yang banyak menghasilkan limbah pertanian seperti jerami padi. Limbah tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada jerami padi banyak mengandung hemiselulosa dan selulosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Penelitian ini bertujuan untuk menghidrolisis kandungan hemiselulosa dan selulosa dalam jerami padi menggunakan enzim xilanase, selulase dan xilosa isomerase melalui konsorsium enzim yang mengaplikasikan sistem hidrolisis dan fermentasi secara kontinyu untuk memproduksi bioetanol dengan kadar yang lebih tinggi.  

Pada proses hidrolisis, konsentrasi substrat jerami padi dibuat sebesar 5%, 10%, 15%, dan 20% (b/v) serta dibuat variasi rasio volume antara substrat dan enzim sebesar 1:1, 1:2, dan 1:3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar bioetanol tertinggi dihasilkan dari substrat jerami padi konsentrasi 10% (b/v) dengan aktivitas enzim masing-masing dalam konsorsium adalah 0,279 U/ml (xilanase), 0,329 U/ml (selulase), dan 0,024 U/ml (xilosa isomerase). Hasil hidrolisis difermentasi menggunakan ragi Sacharomyces cereviseae BJ1824 dan kadar bioetanol dianalisis dengan GC.

Kata Kunci: jerami padi, xilanase, selulase, xilosa isomerase, hidrolisis, konsorsium enzim, Sacharomycescereviseae BJ1824, bioetanol

JURNAL: Produksi Etanol dari Onggok Menggunakan Ekstrak Kasar Enzim Alfa amilase, Glukoamilase dan Saccharomyces cerevisiae

ABSTRAK: Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar alternatif pencampur premium, selain dapat menghemat penggunaan bahan bakar, bioetanol juga dapat mengurangi pencemaran udara. Bahan baku bioetanol ini, dapat berupa biomassa yang mengandung gula, pati atau selulosa. Onggok merupakan produk samping dari industri pengolahan tepung tapioka yang masih mengandung banyak pati (60-70%) sehingga berpotensi sebagai bahan baku bioetanol. 

Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan onggok pada pembuatan bioetanol dengan menggunakan ekstrak kasar enzim alfa amilase dan glukoamilase dari Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, Rhizopus oryzae dalam proses sakarifikasi dan fermentasi alkohol oleh Saccharomyces cerevisiae. Optimasi medium untuk produksi ekstrak kasar enzim bertujuan untuk menentukan medium optimum dalam menghasilkan ekstrak kasar enzim dengan aktivitas alfa amilase dan glukoamilase optimum. Komposisi medium yang digunakan dalam memproduksi ekstrak kasar enzim adalah dedak padi, onggok dan medium basal dengan perbandingan (1) 100% dedak padi, (2) 100% dedak padi bermedium basal, (3)100% onggok bermedium basal,dan (4) 90% dedak padi dengan 10% dedak bermedium basal. Aktivitas ekstrak kasar enzim alfa amilase tertinggi berturut-turut dihasilkan dari medium dedak padi bermedium basal yaitu pada hari ke-2 oleh A.oryzae sebesar 385,14 U/mL dan A.niger dengan aktivitas 373,14 U/ml dan yang tertinggi ketiga oleh R.oryzae sebesar 363,45 U/ml pada medium 90% dedak padi dengan 10% onggok bermedium basal pada hari ke-5. Penggunaan medium dengan komposisi 90% dedak padi : 10% onggok bermedium basal dengan komposisi medium 100% dedak bermedium basal dalam menghasilkan ekstrak kasar enzim alfa amilase tidak berbeda secara signifikan (p<0,05), sedangkan dalam penggunaan A.niger dan A.oryzae menunjukkan aktivitas alfa amilase yang tidak berbeda secara signifikan (p<0,05). Aktivitas glukoamilase tertinggi diperoleh dari R.oryzae pada hari ke-3 sebesar 479,02 U/mL dengan komposisi medium 90% dedak padi : 10% onggok medium basal, disusul oleh glukoamilase A.niger pada hari ke-10 pada medium onggok medium basal sebesar 230,79 U/ml dan ketiga tertinggi oleh A.oryzae dengan aktivitas glukoamilase sebesar 222,65 U/ml pada hari ke-9 dengan medium onggok 100% dan bermedium basal. 

Dalam produksi ekstrak kasar enzim glukoamilase komposisi ke-empat medium optimasi saling berbeda secara signifikan (p<0,05). sedangkan penggunaan A.niger, A.oryzae, dan R.oryzae menghasilkan aktivitas glukoamilase yang saling berbeda secara signifikan (p<0,05). Tahap selanjutnya dilakukan optimasi sakarifikasi pada substrat onggok dengan menggunakan ekstrak kasar enzim yang memiliki aktivitas alfa amilase tertinggi yaitu dari A oryzae dan aktivitas glukoamilase tertinggi dari R.oryzae. Optimasi sakarifikasi ini dilakukan untuk menentukan lama sakarifikasi optimum yang dapat menghasilkan pengurangan pati tertinggi oleh alfa amilase dan menghasilkan gula pereduksi tertinggi oleh glukoamilase. Dari hasil optimasi sakarifikasi, ekstrak kasar alfa amilase A.oryzae optimum pada jam ke-27 dengan hasil pengurangan substrat pati 11,4%, sedangkan dengan ekstrak kasar enzim glukoamilase R.oryzae pada jam ke-15 menghasilkan gula pereduksi sebesar 21,58 mg/mL dengan efisiensi sakarifikasi 6,47 %, dan ketika glukoamilase R.oryzae digunakan pada jam ke-27 setelah alfa amilase A.oryzae, pada jam ke-36 dihasilkan gula pereduksi sebesar 139,20 mg/mL dengan efisiensi sakarifikasi 41,77 %. Tahap berikutnya adalah fermentasi padat alkohol gula hasil hidolisis onggok dengan Saccharomyces cerevisiae selama 5 hari. Etanol tertinggi didapat pada hari ke-4 sebesar 7,89% v/v dengan laju 6,6 % v/v/hari. Pada tahap ini 87,5% gula pereduksi terkonversi menjadi etanol.

Kata kunci: Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, Rhizopus oryzae, Saccharomyces cerevisiae, pati, onggok, alfa amilase, glukoamilase, etanol, fermentasi padat

Minggu, 26 Desember 2010

JURNAL: Pengemasan Bahan Pangan Hasil Ternak dan Penentuan Waktu Kadaluwarsa

ABSTRAK: Bahan pangan hasil ternak mudah sekali mengalami kerusakan oleh faktor lingkungan dan sifat alamiah produk, karena itu bahan pangan ini memerlukan penanganan yang baik setelah pascamortem. Prinsip-prinsip pengolahan perlu diketahui agar dapat menerapkan cara dan penggunaan bahan kemasan yang sesuai dengan produk pangan yang akan dikemas.  

Untuk mendapatkan hasil yang optimum, maka dalam pengemasan bahan pangan, perlu diketahui sifat dan karakteristik bahan yang akan dikemas, sehingga dapat menentukan jenis kemasan yang akan digunakan. Banyak keuntungan yang diperoleh melalui pengemasan bahan pangan, di antaranya menekan kerusakan dan memberikan daya tarik bagi konsumen, yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai jualnya. Selama penyimpanan akan terjadi penurunan mutu bahan pangan yang dikemas, sehingga pendugaan masa simpan bahan pangan yang dikemas merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Kemasan harus mampu melindungi makanan dan mampu menghambat pengaruh luar. Selama penyimpanan selalu terjadi penurunan mutu bahan pangan. Seberapa besar penurunan mutu makanan dapat ditolerir tergantung dari sifat bahan pangan. Estimasi dan prediksi daya simpan makanan pada kondisi normal dapat ditentukan dengan menggunakan kalibrasi hubungan suhu dan kerusakan. Penurunan mutu dan penentuan masa kadaluarsa bahan pangan sangat tergantung pada tingkat ekonomi dan sosial masyarakat. Pengemasan daging segar ditujukan untuk mencegah dehidrasi, masuknya bau dan rasa asing dari luar kemasan, tetapi dapat melewatkan oksigen seperlunya ke dalam kemasan sehingga warna merah cerah dapat dipertahankan selama penjualan. Kemasan susu didesain untuk melindungi produk dari kontaminan dan dari pengaruh oksigen.

JURNAL:Pembinaan Pedagang Makanan Kaki Lima untuk Meningkatkan Higiene dan Sanitasi Pengolahan dan Penyediaan Makanan di desa Penatih, Denpasar Timur

ABSTRAK: Generally street vendor has little knowledge on hygiene and sanitation of food handling. Usually they trade in a night market or on street sides. There are two markets in Penatih Village that operate night market. Both markets located in a strategic location thus they have many visitors every day. In these two markets there are some vendors that need to be counseled and assisted in order to improve their knowledge on hygiene and sanitation of food handling.

The counseling and assistance was conducted every week from 25 September to 10 October 2009, with 10 vendors as target participants. The venues were located in Penatih Market and Agung Market, Penatih Village, East Denpasar. The activities were conducted in the form of counseling and assisting during trading hours towards the participants in regards of hygiene and sanitation of food handling. In order to evaluate and measure the knowledge improvement of the participants, pre test and post test were carried out.

The result shows that, most of participants have less knowledge on food additives in terms of usage, types and risk of usage. The participants have good knowledge on usage of clean water for utensil and food washing as well as knowledge on personal hygiene.

It is recommended to conduct a continuous and regular counseling to street vendors with the involvement of local primary health care (puskesmas).

Keywords: hygiene, sanitation, food handling, street vendor knowledge

JURNAL: Penyusunan Model Pengembangan Agribisnis Pakan Ternak Untuk Mendukung Program Sapi Perah Melalui Koperasi

Kebutuhan susu dalam negeri yang dapat dipasok dari produksi dalam negeri baru mencapai 45% (360.000 ton) dari total kebutuhan 800.000 ton, sehingga sisanya masih diimpor dari luar negeri (Australia dan New Zealand, Kompas 2003). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka produksi dalam negeri harus ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya.

Secara nasional, sebagian besar agribisnis sapi perah merupakan peternakan rakyat yang ditangani koperasi, sehingga sebagian besar (90%) produksi susu ditangani oleh koperasi. Peternakan rakyat menurut data tahun 2000, populasi sapi perah sebanyak 354,3 ribu ekor dengan skala kepemilikan 3-4 ekor per KK dan produktivitas rendah sekitar 9-10 liter per ekor per hari. Hal ini disebabkan antara lain kualitas pakan yang belum baik dan pemeliharaan yang belum optimal. Skala usaha KUD sebagian besar (60%) kapasitas produksinya masih rendah, yaitu di bawah 5.000 liter per hari. Skala kepemilikan sapi perah 3–4 ekor per peternak hasilnya tidak optimal dengan produktivitas rendah berakibat kehidupan peternak stagnan, bahkan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.

JURNAL: Kursus Singkat dan Pelatihan Pengolahan Salak Menjadi Dodol Salak di Desa Sibetan Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem

ABSTRACT: The farmers of salaks, the snake fruits of Sibetan Village have encountered the price tumble during the harvest time. The bumper crops during the harvest while at the same time there is a steady demand on it, as well as that there has not been an effort to process the abundant crops into a preserved foods are considered to be the main factors that cause its price drop.

Training and short course have been conducted to introduce the way how to process the fruits into dodol salak, a sticky cake made of the salak fruit as the main material, by conducting the lecturing and practicing method. The participants were members of family welfare organization (PKK) and the local housewives from Telutug of Sibetan village with the total number of 32 participants, and most of them are the farmers of salaks. The process of making the dodol salak comprises the following steps : the collection and selection of the fruits, peeling and coring the fruit, steaming, mashing the fruits into a pulp, the mixing with coconut milk, palm sugar and sticky rice floor in the bowl, mixing and boiling the mixture within 120 minutes, cooling down and then it is molded and wrapped.

The result of the training shows that the participants were really enthusiastic, it could be seen by the abundant of questions raised either during the lecture, discussion as well as during the practice of making the dodol salak itself. It is expected that by introducing the way how to process the fruits into dodol will improve the skill and knowledge of the local people in general and especially for those of PKK members and the housewives. The food processing into dodol salak may bring about many advantages such as the diversification of the fruit processed-product, giving the added value to the fruit, to lengthen the storage time and to improve the appearance and quality of the product.

Keywords: salak fruits, dodol salak, fruit processing

JURNAL: Perkembangan Teknologi Pengolahan Mie

ABSTRACT: Telah diketahui bahwa mie merupakan bentuk pangan yang sudah populer di Indonesia. Pangan mie ini asalnya dari China. Di Indonesia banyak dijumpai pangan berbentuk mie. Tingkat teknologinya bervariasi dari yang sederhana sampai yang canggih. Demikian pula tingkat industrinya mulai dari industri kecil sampai industri besar.

Bahan baku untuk pembuatan pangan berbentuk mie ini bervariasi, dari mulai beras, gandum, aren, sagu dan bahkan tapioka. Secara laboratorium bahan baku untuk pembuatan mie dapat dilakukan tanpa harus menggunakan terigu, dimana secara skala laboratorium dapat berjalan dengan baik. Namun bagaimna penerapan di skala industri. Makalah ini mecoba membahas pengembangan industri pangan bentuk mie dengan bahan baku berasal dari gandum maupun non gandum.

Kata kunci: mie, technologi, produksi, komoditas

JURNAL: Perbandingan Pemanis (Sukrosa, Fruktosa, dan Glukosa) terhadap Mutu Permen Jelly Rumput Laut Eucheuma cottonii

ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kosentrasi gelatin terhadap tekstur permen jelly rumput laut dan mengetahui pengaruh perbandingan pemanis (sukrosa, glukosa dan fruktosa) terhadap mutu organoleptik, sifat fisik dan kimia permen jelly rumput laut (Eucheuma cottonii) Perlakuan gelatin yang digunakan 5%, 7,5% ,10% dan control (0%) kemudian dilakukan uji organoleptik, tekstur, warna dan penampakan produk keseluruhan.

Sedangkan untuk perlakuan perbandingan pemanis (sukrosa, glukosa dan fruktosa) dengan total pemanis 16% pada setiap perlakuan adalah penambahan sukrosa (A1), penambahan sirup glukosa dan sukrosa (A2), penambahan HFS dan sirup glukosa (A3), penambahan HFS dan sukrosa (A4), penambahan sirup glukosa, HFS dan sukrosa (A5). Hasil yang didapat bahwa konsentrasi gelatin 0% pada permen jelly paling disukai oleh konsumen. Sedangkan mutu permen jelly rumput laut yang tebaik dengan perbandingan pemanis (sukrosa, glukosa, dan fruktosa) terdapat pada perlakuan penambahan perbandingan pemanis sirup glukosa dan sukrosa yang memiliki kandungan kadar air 19,165%, kadar abu 0,305%, kadar lemak 1,16%, karbohidrat 76,31%, protein 2,625%, kadar serat kasar 3,806%, total gula 35,915%, pH 5,1 serta total kapang dan khamir 0,5x101 koloni/g.

Kata kunci: pemanis, permen jelly, Eucheuma cottonii, gelatin

JURNAL: Introduksi Pengolahan Sele Kacang Tanah Sebagai Pangan Kaya Nutrisi dan Energi di Desa Negari Klungkung

ABSTRACT: Almost all of the production of peanut in Indonesia is locally consumed. The peanuts are consumed in various ways, mostly through direct consumption such as boiled peanut, fried peanut, roasted peanut, peanut convectors and peanut butter.Peanut Butter is by far the most important product made from peanuts. It is the pasta forming food that is usually consumed with bread. Peanut Butter is the most popular as a high and medium class food and almost found it at the restaurant and supermarket in Indonesia.

However, to process peanut butter is not so difficult for everybody who wants to do it. Peanut Butter processing is very simple with the equipment and ways properly such as to prepare good quality peanuts, sorted, drying, testa separated, grounding and boiling with mixing sugar and salt. Peanut butter has a high calorie with a good nutrition such as protein, fat, vitamins and trace element like calcium, zinc and magnesium. Reformulation and process improvement of Peanut Butter had been done at Department of agricultural products technology, Udayana University and had been disseminated to the housewife’s group and farmer’s group in Negari Village. Through the technology transfer of the Peanut Butter processing, we hope will be achieved a good quality and many several of peanuts processing in the future.

JURNAL: Aplikasi Lapisan Edibel dari Lapisan Refined Carragenan pada Produk Udang Kupas (Peeled)

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh penggunaan lapisan edibel dari semi refined carragenan (SRC) dan suhu penyimpanan terhadap mutu produk udang kupas (peeled). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan lama pencelupan 1 menit untuk membentuk lapisan edibel (A1) dan penyimpanan pada suhu -10oC (B2) merupakan perlakuan yang terbaik untuk dapat mempertahankan mutu produk peeled. Perlakuan A1B2 lebih baik dari perlakuan lainnya karena mampu mengurangi terjadinya absorbsi air dari udara, penguraian protein, oksidasi lemak dan pertumbuhan mikroba selama penyimpanan.

Kata kunci: Produk peeled, lapisan edibel, semi refined carragenan

JURNAL: Pengaruh Penggunaan Metode Pengawetan Kulit Mentah Terhadap Kualitas Kulit Pari (Dasyatis sp.) Tersamak

ABSTRAK: Proses pengawetan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas kulit mentah dan kualitas kulit tersamak dan pengaruh yang dihasilkan berbeda pada setiap metode pengawetan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan metode pengawetan terhadap kualitas kulit pari tersamak dan mengetahui metode pengawetan yang menghasilkan kualitas kulit pari tersamak paling baik.  

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental Rancangan Acak Lengkap Blok (RALB) dengan 3 ulangan. Penelitian ini menggunakan blok sebagai ulangan sehingga masing-masing blok terdiri dari 5 variasi perlakuan yaitu: (a1) kontrol (kulit segar) (a2) pengawetan dalam larutan garam jenuh (a3) pengawetan dalam larutan garam jenuh yang ditambah peracun kulit (cortimol) (a4) pengawetan garam kristal dan (a5) pengawetan pengasaman (pickle). Lama pengawetan pada keempat variasi perlakuan pengawetan selama 14 hari dan hasil analisa sidik ragam yang berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJGD) dengan a 0,05. Hasil analisa varian diketahui bahwa metode pengawetan kulit mentah memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas kelemasan, kekuatan tarik, dan kadar air kulit setelah pengawetan, namun tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kemuluran, kekuatan sobek, suhu kerut, dan kadar air kulit tersamak. Metode pengawetan pengasaman (pickle) (a5) memberikan kualitas kulit tersamak yang paling baik: kelemasan (2,78 mm), kekuatan tarik (3501,797 N/cm2), kemuluran (64%), kekuatan sobek (786,677 N/cm), suhu kerut (70,33oC), dan kadar air kulit tersamak (13,085%). Nilai ini sudah berada di atas nilai minimal yang disyaratkan dalam SNI 06-6121-1999 mengenai kulit ikan pari untuk barang kulit, sehingga dapat dikatakan sudah memenuhi secara kualitas.

Kata kunci: metode pengawetan, kulit mentah, kualitas kulit tersamak, pari

JURNAL: Kajian Pengembangan Agroindustri Aneka Tepung di Pedesaan

ABSTRAK: Pengembangan aneka tepung di pedesaan dan pengolahan bahan pangan lokal non beras menjadi produk olahan dapat meningkatkan ketrampilan, menambah pendapatan ekonomi keluarga dan meningkatkan nilai komoditas. Pengkajian dilaksanakan di Laboratorium Pasca Panen BPTP Jawa Timur dan di tiga lokasi yaitu di desa Kenongo, kecamatan Jabung, di desa Sumbermanjing kulon, kecamatan Pagak, dan di desa Telogorejo, kecamatan Pagak, kabupaten Malang, pada bulan Januari sampai dengan Desember 2003 dengan menggunakan tiga kelompok tani masing-masing berjumlah 20 orang petani.

Pengkajian terdiri dari (1) teknologi perbaikan mutu tepung, (2) inovasi dan sosialisasi produk olahan, (3) studi preferensi konsumen, dan (4) membuka peluang pasar bahan baku tepung maupun produk olahannya. Hasil pengkajian perbaikan mutu tepung menghasilkan kualitas yang lebih baik yaitu tepung lebih putih dan halus, kadar air lebih rendah (10%), memiliki daya simpan lebih panjang (> 9 bln), hasil produk olahan lebih halus dan memiliki tampilan menarik. Sosialisasi berupa pelatihan dan pembinaan pembuatan produk olahan dari ketiga kelompok wanita tani sangat antusias dan mendapat respon yang sangat tinggi, hasil evaluasi berupa uji panelis dari warga setempat sejumlah 60 responden berdasarkan nilai skors. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan diantara produk yang diuji, dengan nilai skor rata rata antara 3,2 - 4,1 yang dinyatakan dalam cukup suka dan suka terhadap warna, tekstur, aroma dan rasa produk olahan. Memperkenalkan produk tepung kasava dan produk olahan kepada masyarakat pelaksanaan masih terbatas pada sosialisasi, temu lapang, mengikuti ekspose, pameran-pameran dengan menyebarkan lieflet, folder dan buku resep masakan. Pemasaran produk olahan bahan baku tepung kasava berupa kue-kue kering telah dipasarkan di toko-toko, show room, kios-kios dan di terminal agribisnis SPAAT Lawang-Malang, hanya produk gatot dan tiwul instant sudah dipasarkan sampai di beberapa kota di Jawa Timur (Malang, Surabaya, Tuban dan Lamongan). Hasil produk yang dipasarkan masih diupayakan perbaikan kemasan, label dan permohonan ijin Depkes RI.

Kata kunci: Agroindustri, tepung kasava, produk olahan, peluang pasar

JURNAL: Teknologi Pengolahan Minyak Ikan dan Potensi Pemanfaatannya untuk Kesehatan dan Kecerdasan

ABSTRAK: Minyak ikan di Indonesia diproduksi dalam bentuk minyak hati dari ikan cucut dan minyak badan ikan , terutama dari ikan lemuru. Kedua jenis minyak ikan tersebut pada umumnya merupakan hasil samping dari pengolahan ikan cucut, dan pengolahan ikan lemuru (pengalengan, pemindangan, penepungan). Mutu fisik dan kimia minyak ikan sangat bervariasi. Teknik ekstraksi minyak ikan dapat dilakukan dengan metode rendering basah, metode rendering kering, metode hidrolisis, metode silase asam dan metode ekstraksi dengan pelarut.

Pemurnian dapat dilakukan dengan berbagai tahapan yaitu penjernihan, baik dengan penyaringan maupun dengan penyabunan menggunakan alkali, pemucatan dengan bahan adsorben (karbon aktif, bentonit, dan dekalit), penghilangan bau dengan pemanasan pada kondisi vakum, dan winterisasi dengan menggunakan suhu rendah. Rendemen minyak ikan dari proses pengalengan ikan lemuru sebesar 5% (b/b). Kandungan EPA dan DHA minyak ikan dari limbah pengalengan ikan lemuru sebesar 15,15% dan 11,36% dengan kadar total asam lemak omega-3 sebesar 29,68%.  

Minyak ikan mengandung asam lemak omega-3 yang terdiri dari asam eikosapentaenoat (EPA) dan asam dokosaheksaenoat (DHA). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa minyak ikan yang mengandung asam lemak Omega-3 terutama asam eikosapentaenoat (EPA) dan dokosaheksaenoat (DHA) sangat bermanfaat bagi kesehatan dan perkembangan otak manusia. Asam lemak arakhidonat (AA) dan DHA merupakan komponen struktural otak yang mempengaruhi kinerja otak dan sistem syaraf. Manfaat minyak ikan untuk kesehatan dapat mencegah beberapa penyakit antara lain jantung koroner, kelebihan kolesterol darah, penyakit kanker, mengobati kerontokan rambut dan untuk kekebalan tubuh. Pemanfaatan minyak ikan dari hasil samping pengolahan ikan lemuru sebagai bahan suplementasi nutrisi pada produk pangan dapat meningkatkan nilai tambah dan pendapatan, membuka lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja. Indonesia merupakan negara yang sangat potensial untuk memproduksi minyak ikan, mengingat jumlah laut yang luas dan limbah pengalengan ikan yang jumlahnya banyak.

Kata kunci: minyak ikan, asam lemak Omega-3, kesehatan, kecerdasan

JURNAL: Karakteristik Budidaya dan Pengolahan Buah Sukun, Studi Kasus di Solok dan Kampar

ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keragaman jenis, karakteristik budidaya dan pengolahan buah sukun pada dua lokasi di Solok (Sumatera Barat) dan Kampar (Riau). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok sukun yang tumbuh di wilayah penelitian yaitu kelompok sukun kecil dan kelompok sukun medium.

Kelompok sukun kecil memiliki produktivitas 300-500 buah/pohon/panen sedangkan kelompok sukun medium memiliki produktivitas 80-150 buah/pohon/panen. Dari segi teknik budidaya, petani belum menguasai teknik perbanyakan tanaman. Kegiatan pemeliharaan dan pemanenan juga masih sangat sederhana. Tidak didapati perlakuan khusus dalam teknik penyimpanan buah untuk memperkecil tingkat kerusakan. Pengolahan buah terbatas pada pengolahan menjadi produk siap santap yaitu goreng sukun, keripik sukun, gulai sukun, perkedel sukun, kolak sukun, dan jus sukun.

Kata kunci : Sukun, produktivitas, karakteristik budidaya, pengolahan buah

Selasa, 14 Desember 2010

Agroindustri Pengolahan Emping Melinjo

Buah melinjo
Emping melinjo adalah sejenis keripik yang dibuat dari buah melinjo yang telah tua. Pembuatan emping tidak sulit dan dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat sederhana.

Emping melinjo merupakan salah satu komoditi pengolahan hasil pertanian yang tinggi harganya. Komoditi ini dapat diekspor ke negara-negara tetangga (Singapura, Malaysia dan Brunei).

Hidangan dengan emping melinjo
Emping melinjo dapat dibagi digolongkan sebagai emping tipis dan emping tebal. Emping tipis dibuat dengan memukul biji melinjo tanpa kulit keras beberapa kali sampai cukup tipis (tebal 0,5-1,5 mm). Emping tebal dibuat dengan memukul biji melinjo tanpa kulit keras hanya 1-2 kali sekedar mengurangi ketebalan biji utuh.

Emping nyang bermutu tinggi adalah emping yang tipis sehingga kelihatan agak benig dengan diameter seragam kering sehingga dapat digoreng langsung. Emping dengan mutu yang lebih rendah mempunyai ciri: Lebih tebal, diameter kurang seragam, dan kadang-kadang masih harus dijemur sebelum digoreng. Sampai sekarang, pembuatan emping yang bermutu tinggi masih belum dapat dilakukan dengan bantuan alat mekanis pemipih. Emping ini masih harus dipipihkan secara manual oleh pengrajin emping yang telah berpengalaman.

Melinjo tanpa kulit
(bercangkang)
Bahan:
  • Biji melinjo yang telah tua.
  • Melinjo tanpa kulit (bercangkang)

Alat:
  • Wajan dan pengaduk. Alat ini digunakan untuk menyanggrai buah melinjo.
  • Landasan pemipih dan pemukul. Alat ini digunakan untuk memipihkan biji melinjo pada pengolahan tradisional. Landasan pemipih dapat berupa batu keras yang licin dan datar. Pemukul juga dapat terbuat dari batu, besi dan kayu.
  • Alat mekanis pemipih. Alat ini digunakan untuk memipih biji melinjo secara semi mekanis. Dengan alat ini, pemipihan berlangsung lebih cepat. Saat ini, sangar sedikit produsen emping melinjo yang menggunkan alat ini. 4) Seng atau lembar alumunium. Alat ini digunakan untuk mengambil lapisan tipis emping melinjo yang masih basah yang menempel pada landasan pemipih.
  • Tempat penjemur. Alat ini digunakan untuk menjemur emping basah sampai kering. Alat terdiri dari balai-balai dan tampah dari anyaman bambu.

Cara Pengolahan:
  1. Pengupasan kulit buah. Kulit buah disayat dengan pisau, atau dikelupaskan dengan tangan, kemudian dilepaskan sehingga diperoleh binji melinjo tanpa kulit. Pengupasan juga dapat dilakukan dengan alat pengupas. Biji yang telah dikupas dapat dikeringkan, kemudian disimpan beberapa hari sebelum diolah lebih lanjut.
    Melinjo tanpa cangkang dan
    yang sudah dipipihkan
  2. Penyangraian. Biji disangrai di dalam wajan bersama pasir sambil diadukaduk sampai matang (selama 10~15 menit). Penyaringan dapat dilakukan di dalam wajan. Alat mekanis untuk menyangrai kacang tanah dapat juga untuk menyangrai biji melinjo. Biji melinjo yang telah matang tetap dipertahankan dalam keadaan panas sampai saat akan dipipihkan.
  3. Pemisahan kulit keras biji. Ketika masih sangat panas, biji dikeluarkan dari wajan, kemudian dipukul untuk memecahkan kulit keras dri biji. Pemukulan harus hati-hati agar isi biji tidak rusak

A. Emping Tipis
  1. Pemipihan. Biji yang telah dilepaskan kulit kerasnya dan masih panas secepat mungkin dipipihkan
    Peralatan yang digunakan
    dalam pembuatan emping
    menjadi emping melinjo. Pemipihan dapat dilakukan secara manual tanpa bantuan alat mekanis memerlukan keterampilan yang khusus yang hanya diperoleh melalai latihan dan pengalaman yang cukup lama. Pemipihan dengan menggunakan alat mekanis, meskipun lebih cepat, mutu emping yang dihasilakan tidak sebaik yang emping yang dipipihkan tanpa bantuan. Kadang-kadang, lapisan emping juga menempel pada ujung pemukul. Untuk menghindarinya, ujung pemukul dapat dibungkus dengan kantong plastik.
  2. Penjemuran. Lapisan tipis emping melinjo dilepaskan dari landasan pemipih dengan menggunakan serokan seng atau alumunium. Setelah itu, emping basah ini dijemur sampai kering (kadar air kurang dari 90%) sehingga diperioleh emping melinjo kering.
  3. Penggorengan. Emping melinjo tipis yang telah kering digoreng terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Penggorengan dilakukan didalam minyak goreng panas (170oC)
  4. Pengemasan. Emping tipis yang belum atau telah digoreng dikemas di dalam wadah yang tertutup rapat. Agar produk juga terhindar dari kerusakan mekanis, pecah, retak, atau hancur, dianjurkan menggunakan wadah dari kotak kaleng atau karton.

B. Emping Tebal
  1. Pemipihan. Biji yang telah dilepaskan kulit kerasnya dan masih panas, secepat mungkin dipipihkan
    Emping melinjo
    menjadi emping melinjo. Pemipihan dilakukan seara manual tanpa bantuan alat mekanis. Biji dipipihkan dengan memukul biji di atas landasan pemipih 1~2 kali sehingga ketebalannya menjadi setengah dari semula.
  2. Penggorengan. Emping tebal yang baru selesai dipipihkan segera digoreng di dalam minyak panas (suhu 170oC) sampai matang dan garing (5~10 menit).
  3. Pengemasan. Emping tebal yang telah digoreng ini dikemas didalam wadah tertutup rapat. Untuk itu dapat digunakan kantong plastik polietilen.

Agroindustri Pengolahan Sale Pisang Cara Pengasapan

Sale pisang
Buah-buahan merupakan bahan pangan sumber vitamin. Selain buahnya yang dimakan dalam bentuk segar, daunnya juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Misalnya daun pisang untuk makanan ternak, daun pepaya untuk mengempukkan daging dan melancarkan air susu ibu (ASI) terutama daun pepaya jantan.
Warna buah cepat sekali berubah oleh pengaruh fisika misalnya sinar matahari dan pemotongan, serta pengaruh biologis (jamur) sehingga mudah menjadi busuk. Oleh karena itu pengolahan buah untuk memperpanjang masa simpannya sangat penting. Buah dapat diolah menjadi berbagai bentuk minuman seperti anggur, sari buah dan sirup juga makanan lain seperti manisan, dodol, keripik, dan sale.

Pisang dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
  1. Pisang yang dimakan dalam bentuk segar, misalnya : pisang ambon, raja sere, raja bulu, susu, seribu, dan emas.
  2. Pisang yang dimakan setelah diolah terlebih dahulu, misalnya : pisang kepok, nangka, raja siam, raja bandung, kapas, rotan, gajah, dan tanduk.

Pisang banyak mengandung protein yang kadarnya lebih tinggi daripada buah-buahan lainnya, namun buah pisang mudah busuk. Untuk mencegah pembusukan dapat dilakukan pengawetan, misalnya dalam bentuk keripik, dodol, sale, anggur, dan lain-lain.

Sale pisang merupakan produk pisang yang dibuat dengan proses pengeringan dan pengasapan. Sale dikenal mempunyai rasa dan aroma yang khas.

Sifat-sifat penting yang sangat menentukan mutu sale pisang adalah warna, rasa, bau, kekenyalan, dan ketahanan simpannya. Sifat tersebut banyak dipengaruhi oleh cara pengolahan, pengepakan, serta penyimpanan produknya. Sale yang dibuat selama ini sering kali mutunya kurang baik terutama bila dibuat pada waktu musim hujan. Bila dibuat pada musim hujan perlu dikeringkan dengan pengeringan buatan (dengan sistem tungju).

Ada 3 (tiga) cara pembuatan sale pisang, yaitu :
  1. Cara tradisional dengan menggunakan asap kayu;
  2. Cara pengasapan dengan menggunakan asap belerang;
  3. Cara basah dengan menggunakan natrium bisulfit.

Proses pengasapan menggunakan belerang berguna untuk :
  1. Memucatkan pisang supaya diperoleh warna yang dikehendaki;
  2. Mematikan mikroba (jamur, bakteri);
  3. Mencegah perubahan warna.

Bahan:
  • Buah pisang 36 kg
  • Belerang (untuk cara pengasapan) ½ gram (untuk 9 kg sale pisang)
  • Kayu bakar (untuk cara tradisional) secukupnya
  • Natrium bisulfit (untuk cara basah) 15 gram/liter air

Alat:
  • Lemari pengasapan (1x1 m)
  • Pisau
  • Tambah (nyiru)
  • Rak penjemur
  • Panci
  • Baskom
  • Plastik (untuk pembungkus)
  • Lilin (untuk penutup pembungkus)
  • Sendok
  • Kayu bundar atau bambu (untuk memipihkan pisang)
  • Tungku atau kompor
  • Merang (jerami)

    Cara pengolahan sale pisang cara pengasapan (menggunakan asap belerang):
    1. Kupas pisang yang telah tua dan matang lalu kerok sedikit bagaian luarnya agar bersih;
    2. Letakkan pisang di atas tampah lalu masukkan ke dalam lemari pengasapan;
    3. Bakar ½ gram belerang pada tungku atau kompor (di dalam lemari pengasapan) selama 2 jam. Lalu jemur di atas rak penjemuran yang beralaskan merang selama 1 (satu) hari. Sambil dijemur sewaktu-waktu pisang dipipihkan (dipres) dengan kayu bundar atau bambu;
    4. Teruskan penjemuran sampai 3 atau 4 hari hingga kadar airnya serendah mungkin;
    5. Bungkus sale pisang yang telah dijemur dengan daun pisang kering. Masukkan ke dalam plastik lalu tutup dengan lilin.

    Catatan:
    • Sale pisang yang dihasilkan hanya mencapai 25 % atau seperempat bagian dari berat pisang utuh (masih ada kulitnya). Jenis pisang yang sering dibuat sale adalah : pisang ambon, Untuk keripik pisang manis dapat ditambahkan gula pasir halus pada keripik yang sudah digoreng.
    • Pemberian rasa pedas dapat dilakukan bersama-sama dengan pemberian gula halus

      Diagram alir proses pengolahan pisang cara pengasapan

      Catatan:
      1. Sale pisang yang dihasilkan hanya mencapai 25 % atau seperempat bagian dari berat pisang utuh (masih ada kulitnya). Jenis pisang yang sering dibuat sale adalah : pisang ambon, Untuk keripik pisang manis dapat ditambahkan gula pasir halus pada keripik yang sudah digoreng.
      2. Pemberian rasa pedas dapat dilakukan bersama-sama dengan pemberian gula halus.

      Pustaka:
      • Tri Radiyati, et. Al. Kerupuk keripik. Subang : BPTTG Puslitbang Fisika Terapan-LIPI, 1990. Hal. 15-20.

      Agroindustri Pengolahan Sale Pisang Cara Basah

      Sale pisang cara basah
      Buah-buahan merupakan bahan pangan sumber vitamin. Selain buahnya yang dimakan dalam bentuk segar, daunnya juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Misalnya daun pisang untuk makanan ternak, daun pepaya untuk mengempukkan daging dan melancarkan air susu ibu (ASI) terutama daun pepaya jantan.

      Warna buah cepat sekali berubah oleh pengaruh fisika misalnya sinar matahari dan pemotongan, serta pengaruh biologis (jamur) sehingga mudah menjadi busuk. Oleh karena itu pengolahan buah untuk memperpanjang masa simpannya sangat penting. Buah dapat diolah menjadi berbagai bentuk minuman seperti anggur, sari buah dan sirup juga makanan lain seperti manisan, dodol, keripik, dan sale.

      Pisang dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
      1. Pisang yang dimakan dalam bentuk segar, misalnya : pisang ambon, raja sere, raja bulu, susu, seribu, dan emas.
      2. Pisang yang dimakan setelah diolah terlebih dahulu, misalnya : pisang kepok, nangka, raja siam, raja bandung, kapas, rotan, gajah, dan tanduk.

      Pisang banyak mengandung protein yang kadarnya lebih tinggi daripada buah-buahan lainnya, namun buah pisang mudah busuk. Untuk mencegah pembusukan dapat dilakukan pengawetan, misalnya dalam bentuk keripik, dodol, sale, anggur, dan lain-lain.

      Sale pisang merupakan produk pisang yang dibuat dengan proses pengeringan dan pengasapan. Sale dikenal mempunyai rasa dan aroma yang khas.

      Sifat-sifat penting yang sangat menentukan mutu sale pisang adalah warna, rasa, bau, kekenyalan, dan ketahanan simpannya. Sifat tersebut banyak dipengaruhi oleh cara pengolahan, pengepakan, serta penyimpanan produknya. Sale yang dibuat selama ini sering kali mutunya kurang baik terutama bila dibuat pada waktu musim hujan. Bila dibuat pada musim hujan perlu dikeringkan dengan pengeringan buatan (dengan sistem tungju).

      Ada 3 (tiga) cara pembuatan sale pisang, yaitu :
      1. Cara tradisional dengan menggunakan asap kayu;
      2. Cara pengasapan dengan menggunakan asap belerang;
      3. Cara basah dengan menggunakan natrium bisulfit.

      Proses pengasapan dengan menggunakan belerang berguna untuk :
      • Memucatkan pisang supaya diperoleh warna yang dikehendaki;
      • Mematikan mikroba (jamur, bakteri);
      • Mencegah perubahan warna.

      Bahan:
      • Buah pisang 36 kg
      • Belerang (untuk cara pengasapan) ½ gram (untuk 9 kg sale pisang)
      • Kayu bakar (untuk cara tradisional) secukupnya
      • Natrium bisulfit (untuk cara basah) 15 gram/liter air

      Alat:
      1. Lemari pengasapan (1x1 m)
      2. Pisau
      3. Tambah (nyiru)
      4. Rak penjemur
      5. Panci
      6. Baskom
      7. Plastik (untuk pembungkus)
      8. Lilin (untuk penutup pembungkus)
      9. Sendok
      10. Kayu bundar atau bambu (untuk memipihkan pisang)
      11. Tungku atau kompor
      12. Merang (jerami).

      Proses Pengolahan Sale Pisang Cara Basah (menggunakan natrium bisulfit):
      1. Kupas kulit pisang yang telah tua dan matang lalu kerok sedikit bagian luarnya agar bersih;
      2. Rendam pisang dalam larutan natrium bisulfit (15 gram Natrium bisulfit dalam satu liter air) selama 10 menit. Usahakan seluruh pisang terendam, setelah itu tiriskan;
      3. Letakkan hasil tirisan di atas tampah lalu jemur diatas rak penjemuran yang beralaskan merang selama 5~7 hari. Sambil dijemur sewaktu-waktu pisang dipipihkan (di pres) dengan kayu bundar atau bambu;
      4. Bungkus sale pisang yang telah dijemur dengan daun pisang kering. Masukkan ke dalam plastik lalu tutup rapat dengan lilin.

      Diagram alir pengolahan sale pisang cara basah


      Catatan:
      • Sale pisang yang dihasilkan hanya mencapai 25 % atau seperempat bagian dari berat pisang utuh (masih ada kulitnya). Jenis pisang yang sering dibuat sale adalah : pisang ambon, Untuk keripik pisang manis dapat ditambahkan gula pasir halus pada keripik yang sudah digoreng.
      • Pemberian rasa pedas dapat dilakukan bersama-sama dengan pemberian gula halus.

      Pustaka:
      • Tri Radiyati, et. Al. Kerupuk keripik. Subang : BPTTG Puslitbang Fisika Terapan-LIPI, 1990. Hal. 15-20.