Personal News Magazine - "Bun, Buuuun, bangun! Kita sudah bikin bekal nih buat ke kantor. Kita bikin pizza lagi, hari ini masing-masing bawa satu." Aku tersenyum dengan mata yang masih berat untuk dibuka, melirik jam meja di samping tempat tidur. Pagi sekali mereka bangun, dan sudah masak-masak pula. So sweet....
Tentunya, anak-anakku (yang saat ini berusia 7 tahun dan 6 tahun) itu tidak selalu semanis ini. They drive me crazy too, sometimes! Tapi, paling tidak, mereka cukup bertanggung jawab, mandiri, dan tegas.
Itulah salah satu manfaat yang didapat dari tinggal dan sekolah di Australia selama 1,5 tahun. Aku memang berniat membawa anak-anak ke manapun aku sekolah. Tidak ada keraguan tentang itu.
Beasiswa dari kantor mensyaratkan aku melamar ke universitas terbaik dunia untuk program studi yang kupilih, yaitu ekonomi. Aku bersaing dengan belasan teman sekantor yang juga berniat melanjutkan studi. Tetapi, di saat yang lain berkorespondensi dengan dosen atau program administrator di universitas pilihan. Aku lebih sibuk browsing untuk memastikan aku akan bisa sekolah membawa anak-anak.
Aku mengecek akomodasi untuk keluarga, transportasi, sekolah anak, biaya hidup, dan juga jarak tempuh dari Indonesia. Sebagai single mother, akan sangat membantu jika keluargaku dapat datang menjenguk dan membantu menjaga anak-anak di saat-saat genting. Karena itulah, Australia menjadi pilihan keduaku, tepatnya Australian National University (ANU) di Canberra. Pilihan pertama, sesuai persyaratan kantor, adalah universitas lain yang posisi rankingnya di atas ANU dan bertempat di Amerika Serikat (AS).
Adaptasi
Singkat cerita, aku diizinkan sekolah di ANU yang membuktikan indahnya jalan Tuhan. Aku putuskan menyekolahkan anak-anak di sekolah swasta Islam di Canberra, mengikuti saran beberapa teman sekantor yang telah lebih dulu studi di sana. Karena tidak seperti halnya penerima beasiswa ADS, aku harus membayar penuh jika anak-anak bersekolah di public school.
Untuk beradaptasi dengan program studi dan juga mempersiapkan kedatangan anak-anak, termasuk menabung uang saku untuk uang sekolah mereka. Mereka baru akan menyusul setelah satu semester.
Jadilah, aku menjalani satu semester pertama yang sangat berat. Hampir tidak ada hari kulewatkan tanpa menangis karena kangen anak-anak. Satu hal yang menghiburku adalah menjelajahi Kota Canberra menggunakan bis Acton, mencari tempat yang kiranya nanti akan kudatangi bersama anak-anak.
Aku mendaftarkan anakku yang terkecil di childcare centre di kampus. Daftar tunggunya panjang, dan aku datang tiap bulan untuk sekedar ngobrol dengan direkturnya, memastikan bahwa aku serius mendapatkan tempat di childcare tersebut.
Aku juga meminjam buku anak-anak di public library, membacanya seusai membaca jurnal atau text book. Aku berharap bisa membacakannya keras-keras sebelum tidur sebagaimana kebiasaanku sejak mereka lahir.
Setelah 7,5 bulan yang panjang, datang juga hari itu. Anak-anak datang bersama ibuku. Usia mereka 5 tahun dan 4 tahun waktu itu. That was among one of the best day in my life!
Si sulung tetap langsing dan makin tinggi, sementara si bungsu masih gemuk dan chubby. Aku memeluk mereka berdua begitu bertemu di airport. Lama sekali pelukan itu. Mereka terlihat malu-malu dan menahan diri, membuatku sedikit sedih.
Setelah sehari, mereka seringkali menangis karena kangen Oom-Tantenya di Indonesia. Selama ini mereka tinggal bersama adikku dan pengasuh-pengasuhnya sekitar 7,5 bulan lamanya. Mereka mencari pengasuhnya setiap akan mandi, makan, bermain, sampai tidur. Ini membuatku sadar, betapa kami sangat tergantung kepada pengasuh-pengasuh mereka.
Aku baru ingat, betapa tertekannya aku jika ada seorang pengasuh pulang kampung. Ibuku juga tidak terbiasa mengasuh anak kecil dan memasak, sehingga aku pontang-panting memasak, membersihkan rumah, mengurusi anak-anak, dan lain-lainnya. Untunglah, masih ada 2 minggu sebelum masuk semester baru, yang bersamaan dengan awal tahun ajaran di sekolah anak-anak.
Aku berusaha membiasakan anak-anak untuk (paling tidak) makan tanpa disuapi. Ya, anakku masih disuapi, tidak seperti halnya anak-anak di childcare yang kulihat sejak usia setahun sudah bisa makan sendiri.
Memang, adaptasi masuk sekolah dan childcare mungkin merupakan saat-saat berat buat anak-anak. Si sulung yang masuk TK menjadi pendiam. Dia hanya menikmati pelajaran Matematika, menggambar, dan olahraga, yaitu tiga mata pelajaran yang tidak membutuhkan keterampilan berbahasa. Sementara itu, si kecil sangat berkomitmen membuat ibunya merasa bersalah dengan menjerit sekencang-kencangnya setiap kali akan ditinggal di childcare. Aku bahkan bisa mendengar tangisannya dari Crawford School, kampusku yang terletak di seberang jalan dari University Preschool and Childcare.
Bagaimanapun, itu semua merupakan proses harus kulalui. Beberapa carer menguatkan aku untuk tidak menengok ke belakang ketika mengantar si bungsu. Dan betul juga, setelah sebulan, justru susah sekali mengajak anakku pulang. Si sulung pun sudah mulai mempunyai teman dan selalu berceloteh dengan ceria sepulang sekolah.
Satu hal yang berubah secara signifikan setelah anak-anak sekolah adalah besarnya perhatian mereka kepada ibunya. Mereka akan menawarkan bantuan setiap kali melihatku membawa belanjaan, mengambil jemuran, menyapu atau apapun itu yang aku kerjakan. Senang sekali rasanya. Aku memastikan selalu mengucapkan terima kasih dan memuji ketika mereka melakukan sesuatu yang baik.
Pada suatu sore, sepulang sekolah, mereka memperhatikanku membaca dan meng-highlight beberapa kalimat di buku teks. Mereka lalu bertanya, apakah itu bagian dari pekerjaanku. Kujelaskan, bahwa aku perlu mempersiapkan kuliah besok. Namun, rupanya agak sulit bagi mereka menerima konsep bahwa ibunya juga bersekolah. Sebentar kutinggalkan mereka untuk menyiapkan makan malam. Saat kembali, aku menemukan buku teks milikku itu sudah penuh dengan stabilo hijau, tanpa satupun kata luput di-highlight.
"Tadi aku sama adik bantu kerjaan Bunda, warnain bukunya," kata si kakak dengan muka berseri-seri mengharapkan pujian.
Siap ke sekolah
Bersekolah dengan membawa 2 anak yang masih sangat muda memang tidak mudah. Apalagi setelah Ibuku pulang karena visanya habis. Aku tidur kurang dari 5 jam setiap harinya. Aku bangun jam 4.30 pagi untuk shalat, mandi dan menyiapkan bekal makan siang. Aku membangunkan anak-anak jam 5.30, dan memastikan mereka sarapan, dan memandikan mereka.
Aku juga harus mengantar si sulung yang jarak sekolahnya 18 km dari rumah dan melewati jalan terpadat di Canberra, yaitu Northbourne Avenue. Selambat-lambatnya aku harus berangkat mengantar sekolah pukul 7.15 agar sampai di sekolah sebelum jam 8.
Setelah itu, aku juga harus mengantarkan si bungsu sebelum masuk kuliah jam 9. Ada atau tidak jadwal kuliah, aku akan tetap di kampus hingga pukul 3, waktunya menjemput si sulung.
Aku berusaha disiplin membaca atau mengerjakan tugas di waktu-waktu ini. Si bungsu masih aman di childcare hingga pukul 5.45. Kalau tidak ada jadwal kuliah sore, setelah menjemput si sulung, aku akan menjemput si bungsu dan kami bisa pulang ke rumah. Sebaliknya, jika ada jadwal kuliah, seringkali si sulung aku bawa masuk ke kelas. Karena kegemarannya akan Matematika dan menggambar, dia akan berusaha mencatat semua penyelesaian matematis dari persoalan mikroekonomi dan menggambar bagan-bagan masalah optimasi.
Setelah menyiapkan makan malam, anak-anak harus ditemani untuk bermain atau belajar. Aku meninabobokan mereka pukul 9 malam. Biasanya aku juga ikut tertidur karena saking lelahnya, kemudian bangun lagi untuk mengerjakan tugas atau belajar mulai jam 11 hingga jam 3 dinihari.
Akhir pekan serasa seperti di surga. Di hari Sabtu aku tidak akan belajar sama sekali. Aku bawa anak-anak ke museum, piknik, berenang, atau jalan-jalan. Aku biarkan mereka bangun siang, sarapan kapan pun mereka mau, atau makan di luar. Minggu siangnya barulah aku mulai mempersiapkan lagi kuliah atau tugas.
Sedikit demi sedikit, anak-anak memperhatikan contohku, dan menjadi lebih disiplin serta mandiri. Mereka membantu merapikan tempat tidur, membereskan mainannya sendiri, mandi dan memakai baju sendiri, atau sikat gigi. Hingga setelah mereka semakin besar, mereka bisa membantu mencuci piring dan mencuci mobil. Kami pun menjadi lebih dekat, bahkan sangat dekat. Mungkin, hubungan kami tidak akan sedekat ini jika mereka tidak aku bawa menemaniku kuliah. Mungkin mereka akan tetap sebagaimana mereka ketika baru datang ke Australia; manja, selfish dan sangat tergantung pada pengasuhnya. Mungkin, karena sebagian salahku juga. Aku sadar hal itu.
Teman setanah air
Selama di Australia aku merasakan kuatnya ikatan persaudaraan dengan teman setanah air. Aku sangat terbantu dengan keluarga Indonesia yang bersedia dititipi anak-anakku ketika mendapat jadwal ujian malam, atau harus belajar di akhir minggu karena menghadapi ujian.
Aku sempat berbagi rumah dengan teman yang kini bagaikan kakak sendiri, yang selalu menyemangati ketika kadang-kadang semangatku jatuh. Dan, banyak lagi bantuan lainnya datang tanpa diduga.
Ya, kita memang hanya bisa berusaha dan berdoa. Tapi, di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Itulah yang benar-benar aku rasakan dan lakukan.
Akhirnya, aku menyelesaikan studi tepat waktu dan diwisuda sebagai Master of International and Development Economics with Merit. Saat ini, sudah 9 bulan kami kembali ke Indonesia, menikmati kemudahan dan juga menghadapi kesulitan hidup yang berbeda dengan pengalaman sebelumnya.
Aku bersyukur, selain gelar dan pengetahuan, aku merasa banyak sekali manfaat kudapat setelah 2 tahun sekolah di Australia. Aku belajar banyak mengenai cara membesarkan anak. Aku merasa lebih dekat dengan anak-anakku sendiri.
Bagiku, membawa anak-anak ikut menemani sekolah adalah satu pilihan berat. Tetapi, itu bukan berarti tidak mungkin. Semoga teman-teman yang sedang menjalani atau masih menimbang-nimbang dapat menyadari hal itu. Good luck, girls!